BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia
sebagai makhluk sosial tentu saja memiliki hasrat dan keinginan untuk selalu
berinteraksi dengan lingkungan masyarakat sekitarnya. Manusia tidak akan pernah
dapat hidup sendiri di dunia ini,sehingga akan selalu membutuhkan orang lain.
Manusia pada dasarnya dilahirkan seorang diri, namun di dalam proses kehidupan
selanjutnya, manusia membutuhkan manusia lainnya. Seperti pendapat Susanto
(1979:63) dengan mengutip ucapan dari Aristoteles bahwa manusia adalah zoon politikon, yaitu makhluk sosial
yang menyukai hidup berkelompok atau setidaknya lebih suka mencari teman untuk
hidup bersama daripada hidup sendiri.
Kehidupan manusia akan dapat berkembang
apabila seseorang manusia dapat berhubungan dengan manusia lainnya, dengan kata
lain manusia itu disamping hidup di tengah-tengah lingkungan alam, juga hidup
di dalam lingkungan sosial, tidak hanya secara pasif, akan tetapi secara aktif
juga.
Menurut pendapat Soekanto (1990:27), bahwa
di dalam diri manusia pada dasarnya telah terdapat suatu keinginan untuk
menjadi satu dengan alam sekitar lainnya berdasarkan atas keinginan untuk
menjadi satu dengan lingkungannya.
Untuk mencapai keinginan tersebut, manusia
melakukan interaksi dengan manusia lainnya atas dasar keinginan untuk hidup
bersama. Akan tetapi, interaksi yang terjalin tidak hanya semata-mata didasari
untuk mencari teman hidup saja, melainkan ada juga yang berdasarkan atas
kepentingan-kepentingan yang hasilnya saling menguntungkan.
Pada umumnya interaksi sosial yang
dibangun oleh seseorang lebih didasari atas berbagai kepentingan dengan maksud dan tujuan tertentu. Apabila interaksi
yang dibangun tidak menghasilkan sesuatu yang menguntungkan, seseorang bisa
memutuskan untuk tidak melanjutkan interaksi lagi. Hal itu tergantung dari
kedalaman seseorang dalam melakukan interaksi sosial yang diwujudkan pada saat
berinteraksi. Derajat interaksi atau kedalaman interaksi sosial umumnya diukur
melalui simbol-simbol makna atau penafsiran maksud dan tujuan yang ingin
disampaikan dan juga intensitas seseorang dalam melakukan interaksi. Intensitas
interaksi sosial juga merupakan faktor yang menunjang terjadinya percampuran
kebudayaan atau yang dikenal dengan istilah asimilasi.
Adapun bentuk dari interaksi sosial meliputi kerjasama, persaingan, pertikaian,
dan akomodasi.
Seperti diketahui, bangsa Indonesia
merupakan bangsa yang majemuk, dalam arti memiliki keanekaragaman SARA.
Keanekaragaman ini semakin bertambah manakala terjadi perpindahan penduduk
antar provinsi/transmigrasi dan juga imigrasi asing masuk ke wilayah Indonesia
dan kemudian menetap di Indonesia. Keanekaragaman SARA yang berbeda-beda,
hendaknya tidak dijadikan jurang pemisah, yakni dengan pengkotak-kotakan etnis
yang satu dengan etnis yang lainnya, karena hal itu akan menyebabkan
disintegrasi.
Faktor – Faktor yang mendorong terjadinya
interaksi sosial
Interaksi sosial terbentuk oleh factor –
factor berikut ini :
- Tindakan Sosial
- Kontak Sosial
- Komunikasi Sosial
1.
Tindakan Sosial
Tidak semua tindakan manusia dinyatakan sebagai tindakan
sosial misalnya : Seorang pemuda yang sedang mengkhayalkan gadis impiannya
secara diam – diam . Menurut MAX WEBER , tindakan sosial adalah tindakan
seorang individu yang dapat mempengaruhi individu – individu lainnya dalam
masyarakat . Tindakan sosial dapat dibedakan menjadi 4 macam yaitu :
- Tindakan Rasional Instrumental : Tindakan yang dilakukan dengan memperhitungkan kesesuaian antara cara dan tujuan . Contoh : Bekerja Keras untuk mendapatkan nafkah yang cukup .
- Tindakan Rasional Berorientasi nilai : Tindakan – Tindakan yang berkaitan dengan nilai – nilai dasar dalam masyarakat . Contoh : Tindakan –Tindakan yang bersifat Religio – magis .
- Tindakan Tradisional ; Tindakan yang tidak memperhitungkan pertimbangan Rasional . Contoh : Berbagai macam upacara \ tradisi yang dimaksudkan untuk melestarikan kebudayaan leluhur .
- Tindakan Ofektif : Tindakan – Tindakan yang dilakukan oleh seorang \ kelompok orang berdasarkan perasaan \ emosi
2.
Kontak Sosial
Dalam kehidupan sehari-hari kontak sosial dapat dilakukan
dengan cara :
- Kontak Sosial yang dilakukan menurut cara pihak – pihak yang berkomunikasi . Cara kontak sosial itu ada 2 macam yaitu :
- Kontak Langsung : Pihak komunikator menyampaikan pesannya secara langsung kepada pihak komunikan .
- Kontak Tidak Langsung : Pihak komunikator menyampaikan pesannya kepada pihak komunikan melalui perantara pihak ketiga .
- Kontak Sosial yang dilakukan menurut terjadinya proses komunikasi . Ada 2 macam kontak sosial .
- Kontak Primer
- Kontak Sekunder
- Komunikasi Sosial
Komunikasi artinya berhubungan atau bergaul dengan orang
lain. Orang yang menyampaikan komunikasi disebut komunikator , orang yang
menerima komunikasi disebut komunikan . Tidak selamanya kontak sosial akan
menghasilkan interaksi sosial yang baik apabila proses komunikasinya tidak
berlangsungnya secara komunikatif . Contoh : Pesan yang disampaikan tidak jelas
, berbelit – belit , bahkan mungkin sama sekali tidak dapat dipahami .
- Bentuk – Bentuk interaksi yang mendorong terjadinya lembaga , kelompok dan organisasi sosial .
1. Bentuk Interaksi sosial menurut jumlah pelakunya .
A. Interaksi antara individu dan individu
Individu yang satu memberikan pengaruh ,
rangsangan \ Stimulus kepada individu lainnya . Wujud interaksi bisa dalam
dalam bentuk berjabat tangan , saling menegur , bercakap – cakap \ mungkin
bertengkar .
B. Interaksi antara individu dan
kelompok
Bentuk interaksi antara individu dengan
kelompok : Misalnya : Seorang ustadz sedang berpidato didepan orang banyak .
Bentuk semacam ini menunjukkan bahwa kepentingan individu berhadapan dengan
kepentingan kelompok .
C. Interaksi antara Kelompok dan Kelompok
Bentuk interaksi seperti ini berhubungan
dengan kepentingan individu dalam kelompok lain . Contoh : Satu Kesebelasan
Sepak Bola bertanding melawan kesebelasan lain .
2. Bentuk Interaksi Sosial Menurut Proses Terjadinya .
A. Imitasi
Imitasi adalah pembentukan nilai melalui
dengan meniru cara- cara orang lain. Contoh : Seorang anak sering kali meniru
kebiasan – kebiasan orang tuanya .
B. Identifikasi
Identifikasi adalah menirukan dirinya
menjadi sama dengan orang yang ditirunya . Contoh : Seorang anak laki – laki
yang begitu dekat dan akrab dengan ayahnya suka mengidentifikasikan dirinya
menjadi sama dengan ayah nya .
C. Sugesti
Sugesti dapat diberikan dari seorang
individu kepada kelompok . Kelompok kepada kelompok kepada seorang individu .
Contoh : Seorang remaja putus sekolah akan dengan mudah ikut-ikutan terlibat “
Kenalan Remaja “ . Tanpa memikirkan akibatnya kelak .
D.
Motivasi
Motivasi juga diberikan dari seorang
individu kepada kelompok.Contoh : Pemberian tugas dari seorang guru kepada
muridnya merupakan salah satu bentuk motivasi supaya mereka mau belajar dengan
rajin dan penuh rasa tanggung jawab .
E.
Simpati
Perasaan simpati itu bisa juga disampaikan
kepada seseorang / kelompok orang atau suatu lembaga formal pada saat –saat
khusus. Misalnya apabila perasaan simpati itu timbul dari seorang perjaka
terhadap seorang gadis / sebaliknya kelak akan menimbulkan perasaan cinta kasih
/ kasih saying.
F. Empati
Empati itu dibarengi perasaan organisme
tubuh yang sangat dalam. Contoh jika kita melihat orang celaka sampai luka
berat dan orang itu kerabat kita, maka perasaan empati menempatkan kita
seolah-olah ikut celaka.
- Keteraturan Sosial
Keteraturan sosial artinya menaati
nilai dan norma yang berlaku. Contoh : sebuah jalan raya yang dilalui oleh
berbagai jenis dan ukuran kendaraan, serta bermuatan orang dalam jumlah besar
dan arah tujuan. Unsur-unsur keteraturan sosial :
1. tertib
social
2.
order
3. Keajegan
4. Pola
Faktor-faktor yang mendorong dan menghambat pola keteraturan
sosial
- Factor pendorong
a.
Kerja sama (cooperation)
b. Akomodasi
- Faktor penghambat
a.
persaingan b.
kontravensic.
konflik
- Lembaga Sosial
Menurut John Lewis Gillm dan John Philp Billn pengertian
lembaga sosial adalah suatu lembaga sosial merupakan suatu organisasi pola
pemikiran dan pola prilaku yang terwujud melalui aktivitas kemasyarakatan.
- Kelompok Sosial
- Dilihat menurut besar anggota kelompok
- Kelompok sosial yang kecil
- Kelompok sosial yang besar
- Dilihat menurut proses terbentuknya
1.
Kelompok semu contoh:
a. masa
atau kerumunan b. Publik
/ khalayak ramai
2. Kelompok
nyata contoh:
a.
Keluarga Luas b.
Asosiasi / perkumpulan
c. Dilihat menurut erat tidaknya ikatan kelompok
1. Kelompok Paguyuban : kelompok masyarakat desa
2. kelompok Patembayan : kelompok masyarakat kota
- Proses internalisasi
Adalah proses panjang sejak seorang individu dilahirkan sampai tua untuk
belajar menanamkan dalan kepribadiannya segala perasaan, hasrat, nafsu, serta
emosi yang diperlukan
- Proses sosialisasi
Adalah suatu proses sosial
yang terjadi bila seseorang menghayati dan melaksanakan norma-norma kelompok
tempat dia hidup.
- Proses enkulturasi
Adalah menyesuaikan alam dan pikiran serta sikapnya dengan adat istiadat,
system norma dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaannya.
- Proses evolusi sosial budaya
Adalah merupakan proses
perubahan suatu kebudayaan dalam jangka waktu yang lama dan bertahap.
- Proses difusi
Adalah proses penyebaran unsur-unsur. Kebudayaan individu
yang satu kepada individu yang lain. Ada 2 tipe difusi yaitu:
a.
Difusi intra masyarakat
Adalah difusi yang terjadi
dalam suatu masyarakat
b. Difusi
antar masyarakat
Adalah difusi yang terjadi antara masyarakat yang satu
dengan masyarakat yang lain. Difusi antar masyarakat dapat terjadi dalam
berbagai bentuk :
a. Hubungan
symbiotic
b.
Penetration pacifique
c. Penetration
violence
d.
Stimulus diffusion
e. Kultur
complex
6.
Proses akulturasi
Adalah proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia
dengan suatu kebudayaan tertentu dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan
asing. 3 kontak kebudayaan asing yang besar yaitu :
a. Kontak
dengan kebudayaan hindu-Budha pada zaman kuno (abad ke 1-15)
b. Kontak
dengan kebudayaan islam pada zaman madya (abad ke 15-17)
c. Kontak
degan kebudayaan barat pada zaman baru (abad ke 17-20)
Masing-masing kebudayaan tersebut telah mengahsilkan proses
akulturasi adalah : a. akulturasi Indonesia-Hindu Budha
b. akulturasi Indonesia- Islam
c. akulturasi Indonesia–barat
7. Proses asimilasi
Adalah proses sosial yang timbul bila ada golongan-golongan manusia dengan
latar belakang kebudayaan yang berbeda. Factor-faktor yang dapat mempermudah
terjadinya asimilasi adalah : a. toleransi
b. kesempatan-kesempatan di bidang ekonomi yang seimbang
c. Suatu sikap yang menghargai orang asing dengan
kebudayaannya
8 Pembaruan atau inovasi
Adalah proses pembaruan dalam penggunaan sumber-sumber alam, energi dan modal.
Serta pengatuiran system tenaga kerja yang baru
Faktor-Faktor Penyebab Perubahan
1. Komunikasi
2. Virus H-Ach
3. Faktor Intern
penyebab perubahan masyarakat
a. bertambah
atau berkurangnya penduduk
b. penemuan-penemuan
baru
c. konflik
didalam masyarakat
konflik berupa :
1. Konflik antar
individu dalam masyrakat
2. Konflik antar
kelompok
3. Konflik antar
individu dengan kelompok
4. Konflik
antar generasi
d. Pemberontakan (
Revolusi ) dalam tubuh masyarakat
4. Faktor ektern penyebab perubahan masyarakat :
1. Faktor alam fisik yang ada disekitar masyarakat
2. Peperangan
3. Pengaruh kebudayaan masyarakat lain
4. Faktor – faktor yang mendorong terjadinya perubahan sosial
Menurut Margono selamat mengatakan bahwa motivational for ces \ kekuatan
pendorong yang mempengaruhi perubahan yaitu :
1. Ketidakpuasan
terhadap situasi yang ada
2. Adanya
pengetahuan tentang perbedaan antara apa yang ada dengan yang seharusnya bisa
ada
3. Adanya tekanan –
tekanan dari luar seperti kompetisi , keseharusan menyesuaikan diri
1. faktor – faktor pendorong perubahan
1. Kontak dengan
kebudayaan lain
2. Sistem pendidikan
yang maju
3. Sikap menghargai
hasil karya seseorang
4. Toleransi
terhadap perubahan yang menyimpang
5. Sistem pelapisan
sosial terbuka
2. Faktor – factor penghalang perubahan
1. Kurangnya
hubungan dengan masyarakat lain
2. Perkembangan
ilmu pengetahuan yang terlambat
3.
Sikap masyarakat yang sangat tradisional
Perubahan sosial budaya
dapat dikategorikan kedalam beberapa bentuk yaitu :
1. Perubahan secara
cepat dan lambat
2. Perubahan
direncanakan dan tidak direncanakan
3. Perubahan yang
mempengaruhi luas dan tidak luas
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka yang akan
diteliti adalah “Bagaimana bentuk dan intensitas interaksi sosial masyarakat Indonesia
dari tahun 1980 sampai sekarang”.
C. Tujuan
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui bagaimana bentuk dan intensitas interaksi sosial masyarakat Indonesia
dari tahun 1980 sampai sekarang”.
D. Kegunaan
1.
Secara
teoritis, penelitian ini diharapkan dapat berguna dengan memberikan informasi
bagi masyarakat mengenai bentuk dan intensitas interaksi sosial masyarakat Indonesia
dari tahun 1980 sampai sekarang”.
2.
Secara
praktis, penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan dalam mengkaji lebih
lanjut tentang bentuk dan intensitas interaksi sosial masyarakat etnis Bali
dengan masyarakat etnis Lampung dalam pembauran etnis.
Keharusan
Manusia hidup Berkelompok
Cara yang sangat
mudah untuk memahami mengapa manusia harus hidup berkelompok adalah
membandingkan antara anak manusia dengan anak hewan pada waktu lahir dan
beberapa waktu sesudahnya.
Hewan yang
terlahir, kemudian hidup tanpa bantuan dan perlindungan induknya tetap dapat
hidup dan setelah dewasa mereka akan hidup dengan cara yang sama dengan
jenisnya masing-masing. Misal: anak ayam yang baru menetas ditinggal induknya,
sampai besar ia akan tetap hidup sebagaimana seekor ayam.
Berbeda dengan
manusia, ia tak akan dapat hidup terus tanpa ada manusia lainnya. Ia tak akan
hidup sebagai manusia, jika tidak dirawat oleh manusia. Misal: Manusia yang
dirawat Kera, maka ia akan hidup seperti kera, bukan seperti manusia.
Pembeda lainnya antara manusia dengan hewan adalah kemampuan biologis manusia yang dianggap “kurang” dibanding hewan. Manusia tidak dapat berenang selincah ikan, berlari secepat ceetah atau kuda, memburu mangsa secepat harimau, dan berayun melompat sepandai kera.
Pembeda lainnya antara manusia dengan hewan adalah kemampuan biologis manusia yang dianggap “kurang” dibanding hewan. Manusia tidak dapat berenang selincah ikan, berlari secepat ceetah atau kuda, memburu mangsa secepat harimau, dan berayun melompat sepandai kera.
Di balik
kekurangan tersebut, manusia dianugerahi kelebihan berupa kemampuan mental dan
fisik yang lebih fleksibel. Kemampuan mental yang bersumber dari akal dan
nurani, merupakan modal berharga yang digunakan untuk mengendalikan
gerakan-gerakan anggota badan, sehingga kemampuan fisiknya menjadi beragam dan
fleksibel.
Prasangka
dan Stereotipe.
Di dalam berinteraksi
dengan orang lain kita terkadang tidak
dapat lepas dari apa yang disebut sebagai prasangka dan
stereotipe. Prasangka menurut
Mar' at (1984) adalah dugaan-dugaan yang memiliki nilai ke arah
negatif, namun dapat pula
dugaan tersebut bersifat positif. Dugaantersebut umumnya mengarah
pada penilaian negatif
yang diwamai oleh perasaan y<!ngmuncul sesaat. Di dalam
interaksi sosial, prasangka
memiliki relevansi dengankomponen afektifyangbersifat
negatifterutama bila dihubungkan
dengan kelompok minoritas dan kelompok etnis (Mar'at, 1984).
MenurutWolf(dalamMar' at,
1984)prosesterbentuknyaprasangkamerupakanprasangka
sosial yang memiliki konotasi negara dalam hubungannya antara
mayoritas dan minoritas.
Oleh karena itu, Mar' at (1984) menjabarkan beberapa faktor
penentu prasangka, yaitu antara
lain:
·
Kekuasaan faktual yang terlibat hubungan antara
mayoritas dan minoritas
·
Fakta tentang perlakuan terhadap kelompok
mayoritas dan minoritas
·
Fakta mengenai kesempatan usaha pada mayoritas
dan minoritas
·
Fakta mengenai unsur geografis, dimana keluarga
minoritas menduduki daerah-daerah
·
tertentu
·
Posisi dan peranan dari sosial ekonomi yang pada
umumnya dikuasai oleh kelompok
·
minoritas
·
Potensi energi eksistensi dari kelompok
minoritas dalam mempertahankan hidupnya
Adapun beberapa hipotesa yag menjadi penyebab terjadinya prasangka
antara lain adalah:
·
Adanya ketegangan situasiyang senantiasa relatif
dan bersifat individual ataukelompok
·
sentris
·
Dalam tiap-tiap kelompok akan selalu terdapat
minoritas
·
Adanya persaingan yang menimbulkan prasangka
Kedua adalah stereotipe. Stereotipe adalah
persepsi terhadap suatu objek yang tidak
dapat diubah atau kaku (Chaplin, 1995), yang sifatnya terlalu umum
dan seringkali keliru(Atkinson dkk., 1993).Dalam membahas baik prasangka maupun
stereotipe, kita tidak dapat lepas dari mentalset dan konsep interaksi
sosial. Permasalahan yang akan muncul dapat digolongkan menjadidua, yaitu: image
dan sikap (Mar' at, 1984).Imagemenyangkutpersepsisosialsehinggatiaphubunganantarmanusia,
Antarkelompok, dan antar bangsa telah ada suatu mental set tersendiri tentang
opini, sistem nilai, norma, konsep tertentu. Hubungan ini akan mengarah kepada
komponen emosional yang relevan dengan hubungan interaksi ini. Sikap terhadap
pengertian pengertian sinonim yang sebenarnya adalah prasangka dapat diidentifikasikan
dengan sikap yang merupakan predisposisi sosial. Di samping prasangkatersebut
dapat pula disamakan dengan opini atau kepercayaan (belief).
GEJOLAK DISKRIMINASI DALAM INTERASI SOSIAL
Berbagai kerusuhan dan
ketegangan sosial yang terjadi di tanah air dalam dasa warsa sejak akhir
1980-an sampai pada tingkat tertentu menunjukkan bahwa realitas bangsa
Indonesia yang multi-etnik dan multi-agama ini belum dapat dikelola dengan baik.
Kerusuhan-kerusuhan tersebut mengisyaratkan bahwa pendekatan dan strategi yang
telah diterapkan, terutama selama pemerintahan Orde Baru, tak lagi tepat untuk digunakan
dalam konteks masa kini. Oleh karena itu, seluruh komponen bangsi Indonesia,
baik pemerintah, perguruan tinggi, maupun organisasi-organisasi kemasyarakatan
lainnya perlu berusaha menemukan cara-cara yang lebih tepat dalam mengelola
keaneka-ragaman masyarakat ini.
Di samping faktor politik,
ekonomi, dan paham keagamaan, perbedaan latar belakang etnik merupakan faktor
yang sering mewarnai berbagai kerusuhan selama ini, sebagaimana tercermin pada
kerusuhan di Pontianak (etnik Dayak melawan etnik Madura), Jakarta (etnik
Jawa/Sunda melawan etnik Cina), dan Surakarta (etnik Jawa melawan etnik Cina
dan Arab). Dalam beberapa kasus kerusuhan, factor faktor tersebut teranyam satu
sama lain sedemikian rupa, sehingga faktor yang satu sulit dipisahkan dari
faktor lainnya. Meskipun faktor perbedaan etnik sering dinafikan dalam berbagai
pernyataan resmi, kenyataan menunjukkan bahwa terdapat suatu kelompok etnik
tertentu yang menjadi sasaran dan sekaligus korban dominan di dalam
kerusuhan-kerusuhan tersebut. Dalam kasus kerusuhan Mei 1988 di Jakarta dan
Surakarta, misalnya, pemicu-nya adalah faktor politik tetapi kemudian berkembang
menjadi sentimen etnik. Sementara itu, kerusuhan di Surakarta pada tahun 1980,
pemicunya adalah kecelakaan lalu-lintas antara dua pemuda, tetapi kemudian
berkembang menjadi kerusuhan anti-Cina. Kenyataan ini menyiratkan bahwa
perbedaan latar belakang etnik potensial untuk memicu kerusuhan, mengubah inti
persoalan kerusuhan, atau meningkatkan eskalasi kerusuhan. Surakarta merupakan
salah satu kota yang memiliki keanekaragaman etnik dan agama serta memiliki
sejarah kerusuhan yang berulang-ulang, sejak sebelum kemerdekaan hingga akhir
abad ke-20 dengan faktor pemicu yang berbeda-beda. Hasil penelitian Mulyadi dkk.
(1999) tentang radikalisasi sosial masyarakat Surakarta menunjukkan adanya pola
keberulangan peristiwa kerusuhan dan menyebutkanangkan frekuensi kejadian sedemikian
tinggi dalam sejarah kota Surakarta Kenyataan di atas menunjukkan betapa relasi
antaretnik di Surakarta merupakan konflik laten yang potensial meletus sewaktu-waktu
dalam bentuk kerusuhan. Konflik laten ini potensial untuk berubah menjadi
konflik manifes karena adanya bentuk-bentuk bias dalam relasi antaretnik, baik
dalam bentuk stereotip (pendapat atau
pandangan yang menggeneralisasikan ciri-ciri seseorang atau sekelompok orang
berdasarkan keanggotaannya dalam kelompok tertentu), prasangka (perasaan atau
sikap negatif pada orang/kelompok yang dicitrakan dalam stereotip tertentu),
dan diskriminasi (perilaku nyata yang membedakan orang/kelompok secara tidak adil)
yang terlestarikan, baik secara sadar atau tak
sadar, dalam kehidupan nyata sehari-hari
sebagian besar masyarakat Surakarta.
Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya-upaya
rekayasa sosial yang mampu mengeliminasi
proses pelestarian stereotip, prasangka, dan diskriminasi tersebut.
Berbagai inisiatif telah
dilakukan untuk mengeliminasi kesalahpahaman antar etnik di Surakarta, terutama
antara masyarakat keturunan Jawa dan masyarakat keturunanCina, melalui berbagai
forum semacam yang telah dilakukan oleh PWS (PaguyubanWong Solo) dan PMS
(Perkumpulan Masyarakat Surakarta). Akan tetapi, inisiatif-inisiatif tersebut
bisa dikatakan kurang memiliki agenda-agenda yang berkelanjutan, hanya
melibatkan orang-orang dewasa yang sibuk dan telah memiliki status social ekonomi
mapan, serta sebagian besar di antaranya adalah kaum pria. Mengingat pentingnya
relasi sosial yang harmonis lintas etnik dan agama ini, upaya-upaya integrasi perlu
dilakukan oleh berbagai pihak, secara berkelanjutan, dan dilakukan secara lebih
awal dengan melibatkan generasi muda (remaja).Meskipun dalam konteks wacana
publik dan di kalangan elit organisasikemasyarakatan, persoalan keanekaragaman
ini tidak dirasakan sebagai masalah, kenyataan di tingkat akar-rumput
menunjukkan bahwa bentuk-bentuk stereotip, prasangka, dan diskriminasi
merupakan sesuatu yang nyata dan tak bisa dipungkiri. Ketika Pusat Studi Budaya
dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta menyelenggarakan suatu
kegiatan yang melibatkan remaja lintas etnikdan agama, misalnya, stereotipe dan
prasangka tersebut terungkap secara eksplisit, baik dalam pernyataan lisan
maupun sikap peserta di awal kegiatan. Kenyataan itu menyiratkan bahwa tatanan
dan relasi sosial masyarakat Surakarta saat ini sebenarnya mempunyai kontribusi
pada pelestarian bentuk-bentuk stereotip dan prasangka antaretnik, sehingga
perlu upaya-upaya terpadu yang dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan
bentuk-bentuk bias relasi sosial tersebut.
Sebagaimana halnya
keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaan yang ada
di Indonesia, keberadaan kelompok etnik Cina di
Indonesia juga menjadi kontroversi
dalam integrasi bangsa Indonesia. Kehadiran pemukim
Cina di Indonesia pertama
kali diperkirakan terjadi pada abad V (Sa’dun, ed.,
1999: 56; Taher, 1997a: 31).
Para pemukim Cina pertama tersebut melakukan
perdagangan dengan membawa
keramik, sutera, dan benang sutera; ketika pulang
mereka membawa kayu cendana,
sarang burung, emas, dan lain sebagainya (Sa’dun, ed.,
1999: 56).Migrasi orangorang Cina dalam jumlah besar diperkirakan terjadi pada
abadXVII, bersamaan denganmasuknya bangsa Barat ke Nusantara, dan pada awalabad
XX, setelah PerangDunia I, ketika orang-orang Cina tidak hanya datang
keIndonesia tetapi juga ke negara-negara Asia Tenggara lainnya (Sa’dun, ed.,
1999:56-61; Taher, 1997: 3169; Skinner, 1957: 28-29). Di antara faktor
pentingpenyebab kedua gelombang migrasi tersebut adalah situasi dalam negeri
Cina. Pada abad XVII, orang-orang Cina banyak keluar dari negaranya karena
negeri Cina sedang dilanda peperangan, kekacauan, dan kelaparan yang disebabkan
oleh pergolakan politik dalam negeri, ketika Dinasti Ming runtuh dan digantikan
oleh Dinasti Qing Manchu (Sa’dun, ed., 1999: 57; Sukisman, 1992: 2-20). Begitu
pula, migrasi orang-orang Cina pada awal abad XX juga banyak disebabkan oleh kekacauan
dalam negeri Cina, ketika kaum nasionalis Cina di bawah kepemimpinan Sun Yat
Sen melakukan revolusi untuk meruntuhkan Dinasti Qing Manchu (Sa’dun, ed.,
1999: 61; Sukisman, 1992: 118-131; Clubb, 1964: 36-43).
Sejak awal kemerdekaan,
masyarakat Indonesia menyadari bahwa masalah
hubungan antaretnik dapat menjadi potensi konflik
sosial jika tidak diatasi dengan
baik. Cara-cara yang diusulkan untuk mengatasi persoalan hubungan antaretnik
tersebut secara garis besar
dapat dibedakan menjadi dua arus paham utama, yaitu:
“integrasi” dan “asimilasi”. Paham “integrasi”, yang dipelopori oleh Baperki (Badan
Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia),
berpandangan bahwa persoalan
hubungan antaretnik dapat diatasi dengan memberikan
pengakuan sepenuhnya pada
kelompok etnik Cina sebagai salah satu suku bangsa,
sebagaimana Jawa, Sunda,
Dayak, dan suku-suku lain-lain di Indonesia (Coppel,
1994: 91; Taher, 1997a: 124);
sedangkan paham “asimilasi”, yang dipelopori oleh LPKB
(Lembaga Pembina
Kesatuan Bangsa) dan Bakom-PKB (Badan Komunikasi
Penghayatan Kesatuan
Bangsa) berpandangan bahwa persoalan hubungan
anteretnis dapat diatasi bila
kelompok keturunan Cina membaur dan mencairkan diri
dengan masyarakat lokal
(Coppel, 1994: 93; Taher, 1997a: 125). Namun demikian,
karena Baperki
mengidentifikasikan dirinya sebagai “alat revolusi”
dan membela pelaksanaan
Nasakom (Coppel, 1994: 91), ketika terjadi G30S/PKI
pada tahun 1965, terjadi
gerakan anti-Cina yang meluas (Coppel, 1994: 143-144)
dan para tokoh Baperki
yang dianggap sebagai penggiat komunisme banyak
ditangkap atau lari ke luar negeri,sehingga paham integrasi kurang dapat
berkembang (Taher, 1997a: 125).
Meningkatnya gerakan anti-Cina dan tuntutan pemutusan
hubungan diplomatik dengan Tiongkok memberikan peluang bagi paham asimilasi
untuk menjadi semakin kuat dan mendapatkan dukungan dari pemerintah Orde Baru. Dukungan
terhadap integrasi melalui asimilasi ini kemudian menjadi agenda MPRS yang
kemudian tertuang dalam Resolusi No. III/Res/MPRS/1966 tentang Pembinaan
Kesatuan Bangsa. Inti Resolusi tersebut adalah melarang kepemilikan kewarganegaraan
ganda dan mempercepat proses integrasi melalui asimilasi warga negara keturunan
asing. Resolusi tersebut kemudian dijabarkan oleh pemerintah ke dalam berbagai
produk hukum. Produk-produk hukum tersebut antara lain adalah:
(1) Keputusan Presidium Kabinet No. 127/U/Kep/12/1966
tentang Pergantian
Nama; (2) Instruksi Presiden (Inpres) No. 14/1967
tentang Agama, Kepercayaan,
dan Adat-istiadat Cina; (3) Keputusan Presiden
(Keppres) No. 240/1967 tentang
Kebijakan Pokok yang Menyangkut WNI Keturunan Asing;
dan (4) Instruksi
Presidium Kabinet No. 37/U/IN/6/1967 tentang
Kebijaksanaan Pokok Penyelesaian
Masalah Cina.
Namun demikian, produk-produk
hukum tersebut belum mampu menuntaskan
persoalan pembauran. Pendekatan asimilasi yang
didukung oleh prduk-produk hukum
tersebut oleh kalangan masyarakat etnik Cina dirasakan
sebagai pemasungan kebebasan dan penghilangan karakteristik budaya mereka,
termasuk pengingkaran
terhadap agama (Kong Hu Chu) mereka. Bahkan model
asimilasi menyeluruh (asimilasi etnik Cina dengan masuk agama Islam sebagai
agama mayoritas) yang dipelopori oleh Jahja (ed., 1991) juga belum
menyelesaikan persoalan integrasi etnik.
Hasil penelitian Hariyono (1994) yang membandingkan
kultur Cina dan kultur
Jawa menemukan bahwa faktor yang menjadi hambatan
dalam proses asimilasi
adalah tata-nilai tradisional Cina yang disebut
sebagai “sistem
familiisme”. Menurut
P. Hariyono, “sistem familiisme” mempunyai kontribusi
pada tingginyaetnosentrisme
di kalangan masyarakat etnik Cina dan menyebabkan
rendahnya interaksi sosial
dengan masyarakat setempat, sehingga memperkecil
peluang terjadinya perkawinan
campur (amalgamasi). Menurut Taher (Taher, 1997a: 149
– 154), terdapat enam faktor penyebab belum tuntasnya pembauran, yaitu: (1)
pengelompokan kewarganegaraan warisanpemerintah Hindia Belanda (Eropa, Timur
Asing, dan Bumiputra); (2) hak-hak-hakistimewa yang diberikan oleh pemerintah
Hindia Belanda pada kelompok etnik Cina;
(3) hak-hak istimewa yang diberikan oleh pemerintah
Orde Baru pada kelompok
etnik Cina; (4) kecenderungan sikap chauvinistik kelompok etnik Cina; (5) dianutnya
konsep kebangsaan atas dasar ras; (6) citra buruk
muslim Indonesia yang dianggap
identik dengan kemiskinan, keterbelakangan, dan
kekerasan.
Namun demikian menurut Thung Ju Lan (dalam Wibowo,
1999: 22), kegagalan
integrasi di Indonesia sebenarnya disebabkan oleh bias asumsi yang mendasari
kebijakan integrasi, bias
“asimilasi”, yaitu bahwa asimilasi merupakan satu-satunya
solusi permasalahan Cina di Indonesia. Oleh karena
itu, persoalan integrasi bangsa
ini, menurut Thung Ju Lan (dalam Wibowo, 1999: 22),
sudah saatnya perlu dikaji“dari luar” kerangka asimilasi. Pendekatan integrasi
“dari luar” kerangka asimilasi ini mulai mendapatkan tanggapan positif dari
pemerintah pasca Orde Baru. Pada masa kepresidenan-nya, Gus Dur menerbitkan
Keppres No. 6/2000 yang mencabut Inpres No. 14/1967,yang berarti bahwa
masyarakat Tionghoa memperoleh kembali sebagian dari hak-hakmereka sebagai
warga negara Indonesia, yang selama lebih dari tiga dasa warsadibatasi oleh
inpres tersebut, sehingga terjadi peningkatan apresiasi terhadap halhalyang
dianggap sebagai representasi dari kelompok masyarakat etnik Cina,semacam
pengakuan terhadap Imlek sebagai hari besar nasional, pengakuanterhadap
pernikahan secara Kong Hu Chu, penggunaan bahasa Mandarin dalam media massa,
dan penyelenggaraan kesenian barongsai dan wayang putehi. Pencabutan Inpres No.
14/1967 dan perayaan Imlek serta pertunjukan seni
sebenarnya tidak banyak memberikan kontribusi pada
pengelolaan keanekaragaman
masyarakat bila tidak diikuti dengan produk-produk
hukum lain yang selaras,
semacam RUU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis
yang saat ini sedang digodog di DPR, atau produk yang diderivasi dari Keppres
No. 6/2000 tersebut.
Selain melalui pendekatan hukum dan politik, persoalan
integrasi bangsa perlu
dilakukan melalui pendekatan sosial-kultural yang
secara langsung menyentuh
persoalan relasi sosial, yang mempertemukan berbagai
kelompok etnik dan
memfasilitasi terjadinya komunikasi serta kerjasama
lintas etnik dan agama. Integrasi
bangsa bukan sekedar persoalan perundangan, melainkan
juga persoalan pengalaman
praktik kehidupan sosial, dan perlu diintegrasikan
dalam sistem pendidikan.
Dalam sistem pendidikan nasional, pengelolaan
keanekaragaman ini sampai
pada tingkat tertentu sebenarnya sudah terakomodasi
melalui muatan lokal dalam
kurikulum dan diberikannya pelajaran Pancasila sejak
dari pendidikan dasar hingga
pendidikan tinggi. Selain itu, sistem pendidikan
nasional Indonesia juga menerima
paradigma bahwa pendidikan mencakup learning to know, learning to do, dan
learning to live together. Namun demikian,
kompetensi yang diharapkan melalui
kurikulum muatan lokal belum bisa mengakomodasi
kepentingan siswa yang berlatar
belakang etnik Cina; sementara itu, kompetensi learning
to live together belum
dijabarkan secara memadai dan pelajaran Pancasila
lebih banyak menekankan aspek
kognitif, sehingga kurang menghasilkan pengalaman
nyata yang mendukung
perkembangan aspek afektif kepribadian siswa dalam
interaksi lintas etnik danagama.
Salah satu bentuk pendidikan yang menyajikan
pengalaman ber-kehidup-an bersama dan menghargai berbagai perbedaan adalah yang
selama ini disebut dengan
pendidikan multikultural, atau pendidikan toleransi, atau pendidikanperdamaian.
Bab III Penutup
A.Kesimpulan
Menurut
Hipotesa kelompok 5 maka dapat ditarik simpulan dalam artian luas bahwa
interaksi social adalah proses pemberian informasi dari komunikator kepada
komunikan yang menghasilkan feedback/respon secara langsung atau tidak langsung
yang memberi hasil informasi positif ataupun negative,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar