Kamis, 28 Februari 2013

Kasus-Kasus Hukum Kecil Sebaiknya Dimediasi



Kasus-Kasus Hukum Kecil Sebaiknya Dimediasi
TANJUNGPINANG (Suara Karya) Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar, mengatakan, kasus-kasus hukum yang kecil dan tidak merugikan kepentingan negara serta masyarakat sebaiknya terlebih dahulu dimediasi."Sebaiknya kasus hukum yang dianggap kecil dan tidak merugikan kepentingan negara dimediasi terlebih dahulu untuk berdamai sebelum ada kekuatan hukum tetap," kata Patrialis, saat memberikan pengarahan di hadapan pejabat-pejabat lingkungan Kementerian Hukum dan HAM, Provinsi Kepulauan Riau di Tan-jungpinang, pekan lalu.
Patrialis mengatakan, saat ini di tingkat Pol-hukkam sedang dibicarakan mengenai penyelesaian kasus-kasus kecil yang tidak merugikan kepentingan masyarakat dan negara melalui mediasi.Hal ini juga dimaksudkan untuk mengurangi jumlah penghuni lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan, yang rata-rata sudah over kapasitas."Jadi, harus ada kebijakan .secara nasional dalam penegakan hukum. Sebab, kalau semua pelaku kasus kecil masuk penjara cukup memprihatinkan karena warga binaaan di dalam lembaga pemasyarakatan sudah seperti ikan teri, "katanya.Menurut dia, masyarakat kecil yang terkena kasus-kasus kecil melakukan perbuatan kriminal adakalanya karena sudah tidak ada lagi biaya untuk hidup, bahkan kadang kala karena khilaf melakukan perbuatan tersebut. "Karena itu, dalam memutuskan perkara harus ada hati nurani dan rasa keadilan," ujarnya.
Patrialis menyatakan tekadnya untuk menjadikan Kementerian Hukum dan HAM dikenal masyarakat karena keberadaannya memang dibutuhkan oleh negara dan masyarakat "Seluruh jajaran harus menjadikan Kementrian Hukum dan HAM dikenal masyarakat sebagai lembaga yang baik. Jangan masyarakat mengenal Kementerian Hukum dan HAM karena hal-hal yang tidak positif," katanya.Patrialis Akbar, menginstruksikan kepada seluruh jajaran Lapas dan Rutan untuk memberikan perhatian lebih kepada warga binaan (napi), dan tidak mempersulit warga binaan."Termasuk memberikan hak-hak mereka. Kalau sudah waktunya ke luar dari Lapas, ya keluar," katanya.
Dia juga meminta kepada seluruh petugas Lapas untuk menghentikan segala bentuk pungli. Tidak boleh ada pungli di Lapas dan Rutan. Lapas jangan sampai menjadi gunjingan oleh masyarakat akibat pelayanan yang diberikan kepada warga binaan tidak sesuai dengan hak-hak yang dimilikinya. "Berikan pelayanan yang baik, mereka juga manusia biasa yang sedang susah, jangan ditambah susah lagi," tegasnya.
Dalam kunjungan ke LP Tanjungpinang tersebut. Patrialis didampingi Dirjen Pemasyarakatan Untung Sugiono, Pit Dirjen Imigrasi Muhammad Indra, Gubernur Kepri Ismeth Abdullah. Ketua DPRD Kepri Nur Syafriadi, Kakanwil Hukum dan HAM Kepri I Gede Widiartha.Selain berkunjung ke Lapas Tanjungpinang, Patrialis dan rombongan juga menyempatkan diri mengunjungi Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Tanjungpinang dan TPI Internasional Tanjung pinang. (Uniun Sipayung.januari 2010).
Hak dan Kewajiban
Ketika kita pergi ke kedai dan dalam transaksi usdhda membeli sebotol kecap, maka kewajiban kita adalah membayar harga kecap dan hak kita adalah menerima kecap tersebut. Kewajiban pemilik kedai adalah memberikan kecap sesuai kesepakatan dan hak penjual adalah menerima uang bayaran dari kita. Ketika kita berjanji untuk bertemu seseorang pada tempat dan jam tertentu, maka kewajiban kita adalah menepati janji kepada kawa ntersebut dan hak kita adalah memperoleh ketepatan janji dari kawan itu, sedangkan hak kawan itu itu adalah pelunasan janji tersebut dan kewajibannya adalah melunasi janji itu.
Dalam kedua kasus tadi, untuk yang pertama, pemilik hak bisa melepaskan haknya. Pemilik kedai bisa melepaskan haknya, sehingga kecap menjadi gratis, atau pembeli melepas haknya, sehingga pemilik kedai mendapat rejeki nomplok, uang tunai tanpa perlu melunasi kewajibannya menyerahkan kecapnya. Dalam kasus janji, jika salah satu melepas haknya, tentu menjadi rumit, oleh sebab itu dalam berjanji kedua pihak harus menunaikan kewajiban sekaligus mendapatkan haknya.
“Kemerdekaan adalah hak segala bangsa,…dst ” (UUD45 NKRI). dalam konteks ini, bisakah kita melepaskan hak kita untuk merdeka ? tentu bisa saja, artinya tetap dijajah oleh suatu bangsa. Jika Kemerdekaan adalah hak, siapa yg memiliki kewajiban ? tentu si penjajah. Jadi Penjajah berkewajiban memberikan kemerdekaan kepada yg terjajah, kecuali bangsa itu memang merelakan haknya sebagai warga merdeka.
Warga Negara juga memiliki hak mulai dari yg asasi hingga yg tidak asasi, lantas siapa yang berkewajiban menjamin atau menunaikan kewajibannya, karena Hak dan Kewajiban itu adalah bak kedua muka sekeping uang logam, menjadi satu tidak bisa dipisah. Dalam kasus itu, yg berkewajiban adalah Negara, atau pemerintahan sebagai pengelola negara. Tetapi, sesudah warga negara memperoleh haknya, mereka memiliki kewajiban untuk patuh kepada aturan Negara dan negara berhak menerima kepatuhan warganya.
Kemudian, dalam UU Sidiknas, adalah istilah Wajib Belajar (Wajar), artinya belajar itu wajib. Dengan kritis kita bertanya, lantas siapa yg berhak menerima “kewajiban” belajar itu ? Negara ? ah,… yg benar aja. Menurutku, belajar itu adalah Hak Anak dan negara wajib memberikan hak itu. Lantas apa yang diperoleh Negara ? Kehadiran anak itu disekolah, di perpustakaan hingga diakhir proses menjadi adalah kemampuan anak tersebut ketika dewasa menjadi warga negara yang mandiri, berani hidup dan memuliakan kehidupan, kata pak Buchori.
Negeri timur seperti Indonesia dalam konteks Hak dan Kewajiban ini, lebih mengutamakan kewajiban, sehingga seringkali lupa dengan hak-nya. Saya tidak tahu, apakah ini disebabkan oleh lamanya menjadi bangsa terjajah, sehingga yg diingat hanya kewajiban, bukankah terjajah itu haknya sering diingkari oleh yang menjajah ? Selain itu, hak juga tabu untuk dituntut, karena berkeyakinan bahwa si penerima kewajiban kita, pasti akan memberikan hak kita, yg notabene adalah kewajiban mereka, padahal belum tentu !! Umumnya kita wajib membayar pajak dan hak kita adalah memperole hlayanan yg sesuai dengan pajak yg kita bayar dan itu adalah kewajiban pemerintah, tetapi seringkali diingkari.
Di Negeri Barat, terbalik. Seringkali, sebelum melaksanakan kewajiban, mereka menuntut hak-nya dulu, akhirnya semua berebut menuntut hak dan terjadilah “transaksi” Hak dan Kewajiban, jika hak tidak cocok dengan yg dijanjikan, yg wajib memberikan akan dituntut dan pertengkaran terjadi, demikianlah proses itu terjadi dan setiap hari terjadi tawar menawar si A penerima/pemberi hak/kewajiban dan si B penerima/pemberi hak/kewajiban. Kadangkala, hak lebih sedikit dari kewajiban, seringkali pula, kewajiban lebih banyak dari hak. Jika keduanya tidak sepakat dengan transaksi, maka pengadil akan menetapkan, siapa yg curang.
Di negeri timur, khususnya Indonesia, karena seringkali si pemberi kewajiban berharap haknya ditunaikan oleh si penerima kewajiban, maka ketika hak nya ditahan, mereka sungkan menuntut dan dipendam terus, seringkali meledak terjadilah amok.
Sebentar lagi pemilu dan memilih wakil dan presiden itu menurut saya adalah hak, oleh sebab itu tidak boleh dijadikan berhukum haram jika melepas. Tetapi jika memilih wakil rakyat dan presiden itu menjadi kewajiban, maka bisa berhukum wajib hingga haram. Ini berdasar logikaku dalam melihat konteks hak dan Kewajiban ini. Apatah lagi, jika memilih dalam Pemilu adalah kewajiban (lawan dari Hak) maka siapa yg berhak mendapatkan, tentunya yg dipilih, enak betul. Seharusnya, karena memilih adalah hak, maka ibarat “jual beli” pemerintah yang menjual pemilu itu dengan menyediakan calon yg layak beli dan pemilu yg layak ikut. Ketika Warga sudah menggunakan ‘hak”nya, maka mereka harus menunaikan kewajibannya, seperti patuh aturan, membayar pajak, aktif di RT dlsb, dan seterusnya. (Ahmad Rizali).
Kasus Kurang Bayar Pajak, DJP Dinilai Lambat
Jakarta-Direktorat Jenderal Pajak diminta transparan dan menjelaskan kepada publik mengapa kekurangan pajak perusahaan batu bara dan kelapa sawit 2004-2006 baru terungkap sekarang.
Di samping itu, Dirjen pajak diminta memberi terminologi yang tepat untuk menyebut penyelewengan yang dilakukan wajib pajak agar tidak menyesatkan masyarakat dan mengaburkan tindak pidana yang mungkin dilakukan oleh wajib pajak.
“Kami respek terhadap pengungkapan kasus-kasus ini, namun Ditjen harus menggali lebih dalam kenapa kekurangan pajak yang sudah berlangsung sejak 2004 baru terungkap sekarang,” kata Wakil Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW) Danang Widiyoko, Sabtu (29/12).
Ia mempertanyakan kinerja aparat pajak mengapa tidak secara dini mengetahui praktik-praktik seperti ini. “Jika praktik ini ditemukan saat ini, pasti karena ada ada laporan dan bukti-bukti yang menyatakan ketidakwajaran dalam pembayaran pajak,” tandasnya.
Ia juga menegaskan Ditjen Pajak juga tidak boleh diskriminatif dan berstandar ganda dalam terminologi penyebutan penyimpangan oleh wajib pajak. “Terminologi harus jelas apakah hal itu disebut kekurangan pajak, penghindaran pajak atau penggelapan pajak,” katanya. Penyebutan yang tidak tepat akan menyesatkan masyarakat dan menimbulkan keresahan.
Menurutnya, penyelesaian kasus-kasus pajak seperti ini tidak boleh hanya mengedepankan kepentingan wajib pajak dan mengabaikan rasa keadilan di masyarakat. Jika Ditjen pajak mengunakan eufimisme terhadap istilah penggelapan pajak menjadi kekurangan membayar pajak sangat berbahaya karena akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia.
Ketua Asosiasi Pengusaha Batu Bara Indonesia Jeffry Mulyono mengaku tidak mengetahui permasalahan kekurangan pembayaran pajak sebesar Rp 2,7 triliun dari tiga perusahaan batu bara. Jeffry meyakini bahwa dirinya belum mendengar barita tersebut dan tidak mengerti bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah menemukan kekurangan pembayaran pajak dari tiga perusahaan batu bara dari hasil rekapitulasi kekurangan pembayaran pajak tahun 2004-2006.
Kekurangan Pembayaran
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menemukan kekurangan pembayaran tiga perusahaan batu bara dan dua perusahaan kelapa sawit terbesar di Indonesia mencapai Rp 3,78 triliun.
Angka sebesar itu merupakan hasil rekapitulasi kekurangan pembayaran pajak tahun 2004-2006. Sedangkan untuk 2007, dari tiga perusahaan batu bara, jumlah kekurangan pajak (Pajak Penghasilan Pasal 29) mencapai Rp 1,5 triliun.
Hal tersebut diungkapkan Dirjen Pajak Darmin Nasution dalam jumpa pers, Jumat (29/12). Ia mengatakan pihaknya telah melakukan analisis dan evaluasi profil perpajakan di beberapa sektor yang tengah booming, seperti jasa konstruksi, real estate, batu bara, dan perkebunan kelapa sawit.
Untuk perusahaan batu bara, DJP menemukan tiga perusahaan yang pembayaran pajaknya masih kurang Rp 2,7 triliun. “Yang dua sudah selesai kita berikan konseling. Hasilnya mengejutkan. Kekurangan pembayaran pajak untuk tahun 2004-2005 dan 2005-2006 mencapai Rp 1,7 triliun. Jadi lebih besar dari Asian Agri,” ujarnya. Sedangkan, proses konseling 1 perusahaan lainnya belum selesai. Namun, diperkirakan kekurangan pembayaran pajak dari perusahaan ini mencapai Rp 1 triliun.
Temuan di dua grup perusahaan perkebunan kelapa sawit juga cukup mengejutkan. Dari satu grup, Darmin menemukan kekurangan bayar dari tahun 2004-2006 sebesar Rp 1 triliun. “Namun, grup menganggap masih di bawah itu,” kata Darmin. Sedangkan, kekurangan untuk PPh 29 Tahun 2007 mencapai Rp 548 miliar. (Sigit Wibowo)
Antara Hukum dan HAM
Presiden SBY akhirnya menolak permohonan grasi kedua yang diajukan oleh terpidana mati kasus Poso: Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu. Alasannya, berdasarkan pertimbangan Mahkamah Agung (MA), semua proses hukum sudah dilalui, termasuk penggunaan hak grasi. Karenanya, vonis mati itu sudah berkekuatan hukum dan dapat segera dieksekusi.
Jika dipikir dan dikaji lebih jauh, kasus ini memang merupakan dilema bagi publik Indonesia. Dilema sebab secara hukum, kasus ini memang sudah melalui semua proses hukum. Maka, jika digelar sidang baru atas kasus ini, akan muncul spekulasi bahwa hukum di Indonesia belum bisa ditegakkan. Namun, dalam tinjauan Hak Asasi Manusia (HAM), kasus ini masih penuh tanda tanya.
Setidaknya ada tujuh pertanyaan yang diajukan Antonius Sudirman, dosen Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Makassar, yang masih relevan, terhadap keseluruhan proses hukum yang berlangsung:
1. Pada waktu sidang kasus Tibo Cs, suasana Pengadilan Negeri Palu sangat tidak kondusif. Di luar pengadilan terjadi demo kelompok masyarakat yang menghendaki Tibo Cs dihukum. Hal ini, menurut Sudirman, menyulitkan bagi hakim dalam menegakkan hukum secara jujur dan adil. Seharusnya, sidang berjalan tanpa adanya desakan dari kelompok manapun, baik pemerintah, LSM, ormas, atau siapa saja, dengan ataupun tanpa kepentingan tertentu. Proses hukum yang jujur dan adil seharusnya menyerahkan sepenuhnya kepada para hakim, jaksa, dan elemen-elemen hukum, untuk mempertimbangkan sebijak mungkin, berdasarkan tata hukum dan pertimbangan yang sehat.
2. Ada kesan bahwa proses hukum terhadap Tibo Cs dipaksakan diadili secara cepat. Sudirman menyebutkan bahwa dalam waktu sekitar setahun kasus tersebut sudah sampai pada putusan akhir di MA. Diawali dengan penangkapan (25 Juli 2000), putusan Pengadilan Negeri Palu (5 April 2001), putusan Pengadilan Tinggi Palu (17 Mei 2001), dan Putusan MA di tingkat kasasi (11 Oktober 2001). Kenapa harus buru-buru? Apakah alasannya semata-mata hanya penegakan hukum ataukah ada 'permainan' lain di balik kasus ini?
3. Tibo Cs pernah mengajukan 16 nama yang dianggap terkait dalam kasus ini. Jika Tibo Cs dihukum mati, siapa lagi saksi hidup yang dapat dimintai keterangan perihal ke-16 nama tersebut? Siapa sih ke-16 nama itu sehingga proses hukum terhadap mereka terkesan diulur-ulur? Mungkin hukum Indonesia menganut prinsip lebih baik menyelamatkan 16 daripada 3!
4. Ditemukannya bukti baru (novum) yang mengindikasikan bahwa Tibo Cs tidak terlibat sebagai dalang kerusuhan Poso. Jika bukti itu benar, berarti aparat hukum telah mengabaikan aspek kecermatan dan kehati-hatian dalam proses peradilan terhadap suatu tindak kejahatan serius dengan ancaman pidana mati. Apa yang bisa membutakan aparat? Sengaja atau memang terlewatkan?
5. Kasus kerusuhan Poso merupakan kasus besar. Sekitar 2000-an jiwa menjadi korban dalam peristiwa ini. Ratusan rumah tinggal, tempat ibadah, kantor, toko, dan pasar hangus terbakar. Dalam logika sederhana pun sungguh sulit memahami bagaimana peristiwa sedahsyat itu didalangi oleh tiga orang yang nota bene bukan warga Poso. Ketiganya juga bukanlah orang yang layak diperhitungkan sebagai pengerah massa. Masih banyak orang yang memiliki pengaruh lebih besar di Poso ketimbang Tibo Cs.
6. Kasus Poso berlangsung dalam tiga periode sejak 1998 hingga 2000. Tibo Cs dianggap terlibat dalam kasus Poso III, tetapi terhadap mereka ditanggungkan juga kasus Poso I dan II. Sungguh di luar logika sehat! Siapa yang sakit?
7. Kasus kerusuhan Poso sarat muatan SARA, politik, korupsi, dan perebutan kekuasaan yang melibatkan satu atau lebih kelompok yang saling berhadap-hadapan, tetapi yang dijatuhi hukuman mati adalah anggota dari salah satu kelompok tertentu yang tidak memiliki kekuasaan.
Mengapa kelompok lain tidak diproses sesuai aturan hukum yang berlaku? Bukankah semua orang dan kelompok adalah sama di depan hukum?
Pemerintah harusnya bertindak arif dan bijaksana menangani kasus semacam ini. Penegakan hukum memang merupakan prioritas utama di negeri yang carut-marut ini, tetapi penegakan HAM juga memiliki prioritas yang sama. Dunia internasional tidak semata-mata menyorot penegakan hukum di negara ini, tetapi juga penegakan HAM.
Pemberian hadiah oleh Paus Benediktus XVI kepada ketiga terpidana mati mestinya menjadi sinyal bagi pemerintah bahwa dunia internasional tidak sedang menutup mata terhadap penanganan kasus ini. Belum lagi upaya kelompok pemuda lintas agama di Manado yang tengah mencari dukungan internasional agar kasus ini diangkat ke tingkat Mahkamah Internasional.
Jadi, marilah pertajam nurani! Kita memang harus serius menangani kasus besar di Poso, tetapi bukan berarti menjadi pahlawan kesiangan yang lupa dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Negara ini tidak cukup hanya dengan mengobati berbagai bentuk ketidakdilan, tetapi jauh yang lebih penting adalah nurani yang lebih jernih, sehat, dan peka terhadap kemanusiaan. Jika harga tiga nyawa manusia terbuang percuma hanya karena faktor penegakan hukum, apalagi mengabaikan proses peradilan yang transparan, maka sesungguhnya mereka yang menjatuhkan hukuman mati itu jauh lebih kejam daripada mereka yang dihukum mati!
Satu tangan tak kuasa menjebol 'penjara ketidakadilan'.
Dua tangan tak mampu merobohkannya.Tapi bila satu dan dua dan tiga dan seratus dan seribu tangan bersatu,kita akan berkata, "Kami mampu!"

"Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia:Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!" (Roma 11:36) (Redaksi Eskol-Net eskol@mitra.net.id).
Kasus Hak : Pemerkosaan adalah Kasus Kekerasan Terbanyak di Lampung.
Lembaga Advokasi Perempuan Damar Lampung mencatat, ada 206 kasus tindak kekerasan terhadap perempuan di Lampung. Kasus tersebut didominasi pemerkosaan, pencabulan, dan penganiayaan. Koordinator Penanganan Kasus dan Pendidikan Publik Lembaga Advokasi Perempuan Damar Titin Kurniasih mengatakan, dari 206 kasus tersebut, terdapat 105 kasus pemerkosaan, 39 kasus pencabulan, dan 32 kasus penganiayaan. Dari pengamatan Damar, kasus pemerkosaan justru lebih banyak dilakukan masyarakat dengan strata sosial dan tingkat intelektual tinggi. Mereka juga keluarga atau orang terdekat dari korban.
Adapun korban terbanyak adalah pembantu rumah tangga (PRT) dan anak-anak yang merupakan keponakan atau saudara teman. Menurut Titin, hal itu menunjukkan bahwa kasus pemerkosaan yang terjadi di masyarakat Lampung diakibatkan mulai lunturnya tingkat kekerabatan yang dicemari sikap moralitas yang tidak baik. ”Faktor ekonomi tidak berperan di sini,” ujar Titin. Sebagai gambaran, dari 206 kasus kekerasan, pelaku dari 166 kasus mengenal korbannya. Sementara dari data usia korban, sebanyak 108 perempuan berusia 0-17 tahun menjadi korban kekerasan. Disusul 44 perempuan berusia 18-25 tahun dan 9 perempuan berusia antara 26 tahun dan 30 tahun.
Dari pihak pelaku, sebanyak 60 pelaku berusia 18-25 tahun dan 23 pelaku berusia 46 tahun ke atas. Selebihnya pelaku berusia antara 0 tahun dan 17 tahun serta 26 tahun hingga 45 tahun. Lebih lanjut, Titin mengatakan, kendati kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2008 tercatat banyak, jumlah kasus tersebut sudah jauh menurun dibandingkan dengan jumlah kasus sebelum tahun 2003. Sampai dengan tahun 2003 jumlah kasus kekerasan mencapai lebih dari 300 kasus.
Anak dan Hukum
Sebelumnya, Lembaga Advokasi Anak (Lada) Lampung mencatat, sebanyak 228 anak terlibat hukum atau beperkara dengan hukum selama tahun 2008. Adapun jumlah kasus anak yang berkonflik dengan hukum meningkat 100 persen dibandingkan jumlah kasus pada tahun 2007. Direktur Eksekutif Lada Dede Suhendri beberapa waktu lalu mengatakan, pada tahun 2008 terjadi 175 kasus yang terdiri atas 15 jenis kasus hukum yang didampingi. Adapun pada tahun 2007, terjadi 113 kasus yang terdiri atas 15 jenis kasus yang didampingi.
Menurut Dede, dari pendampingan Lada, penyebab meningkatnya kasus hukum pada anak adalah pengaruh ekonomi nasional yang dipicu kenaikan harga bahan bakar minyak. Pemicu kedua adalah konsumsi media elektronik yang menayangkan tayangan yang tidak mendidik dan cenderung menampilkan gaya hidup konsumtif sehingga memengaruhi perilaku anak. Dari 175 kasus hukum, kasus pencurian merupakan kasus yang paling banyak terjadi, yakni sebanyak 103 kasus. Kasus hukum kedua yang banyak terjadi adalah kasus narkoba, yaitu sebanyak 17 kasus. Di urutan ketiga adalah kasus perampasan (9 kasus) disusul dengan kasus perjudian (8 kasus).
Jumlah kasus penganiayaan sebanyak tujuh kasus. Kasus pemerkosaan, pencabulan, pemalakan, pembunuhan, dan beberapa kasus lainnya berjumlah antara 1 dan 6 kasus. Lebih lanjut, Dede mengatakan, tingginya kasus pencurian oleh anak dari tahun ke tahun karena adanya kesempatan untuk melakukan hal tersebut. Sementara kasus narkoba pada anak-anak juga meningkat. Pada 2007 LAdA mencatat hanya terdapat lima kasus anak yang terlibat narkoba. Namun 2008 jumlah kasusnya meningkat menjadi 17 kasus. Oleh karena itu, polisi harus terus memberantas peredaran narkoba di Lampung,” ujarnya.
Kasus Negara Hukum
Jika hukum HAM internasional dikaitkan dengan kasus semburan lumpur Lapindo, maka bos Grup Bakrie dan pemerintah dalam pengusahaan Blok Brantas tersebut dapat diadili di Pengadilan HAM. Tapi bisakah - dalam praktiknya - hukum HAM berjalan tanpa intervensi politik? Itulah masalah besar praktik penegakan hukum kita selama ini. Reformasi jatuh tersandung di soal itu.
Hingga hari ini semburan lumpur Lapindo sampai pada fase yang terus mengkhawatirkan, dengan korban terus bertambah. Akibat semburan lumpur yang hampir genap dua tahun itu telah semakin memperberat dan memperluas penderitaan sosial. Jika semburan lumpur itu berjalan hingga 50 tahun, Greenomics menghitung biaya penanggulangan masalah lumpur Lapindo itu akan menjadi Rp. 756 triliun (Hukumonline.com, 13/2/2007).
Sedangkan trio pemegang partisipating interest Blok Brantas yang terdiri dari Grup Bakrie, Medco dan Santos menanggung hanya Rp. 5 triliun sesuai janji mereka yang berlindung di balik jubah Perpres No. 14/2007.
Jika itu benar, negara akan menanggung Rp. 751 triliun, jika tak ada upaya keras lebih lanjut untuk menghentikan semburan lumpur Lapindo. Upaya penghentian semburan lumpur pernah dilakukan tapi dihentikan dengan alasan `dana.´ Lalu ditumpuki dengan pendapat sekelompok ahli geologi yang memustahilkan upaya penghentian semburan. Ini menjadi misteri tersendiri yang perlu dikuak.
Unsur kesengajaan
Kejaksaan RI hingga kini tampak ragu dengan setumpuk alat bukti pidana kasus semburan lumpur itu, maka patut dipertanyakan. Pasalnya, selain telah adanya berbagai alat dan barang bukti, ada juga acuan dokumen otentik, yaitu hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tertanggal 29 Mei 2007 yang sudah sangat gamblang menjelaskan berbagai pelanggaran dalam proses peralihan Blok Brantas hingga kesalahan proses eksplorasi. Kejaksaan seharusnya tidak terjebak dalam kancah perbedaan pendapat para ahli geologi. Bukankah selama ini para koruptor yang diadili juga `menyewa´ ahli dan perkaranya tetap dibawa ke pengadilan?
Berdasarkan hasil audit BPK, ditemukan fakta bahwa lokasi pemboran Sumur Banjar Panji (BJP)-1 berada 5 meter dari wilayah permukiman, 37 meter dari sarana umum (jalan tol Surabaya - Gempol) dan kurang dari 100 meter dari pipa gas Pertamina. Selain Sumur BJP-1, terdapat sejumlah sumur-sumur eksploitasi (sudah produksi) yang dikelola oleh Lapindo yang jarak lokasinya kurang 100 meter dari permukiman. Pemberian ijin lokasi pemboran sumur migas yang berdekatan dengan permukiman dan sarana umum serta obyek vital tidak sesuai dengan Ketentuan Badan Standar Nasional Indonesia No.13-6910-2002 tentang operasi pengeboran darat dan lepas pantai di Indonesia yang antara lain menyebutkan bahwa sumur-sumur harus dialokasikan sekurang-kurangnya 100 meter dari jalan umum, rel kereta api, pekerjaan umum, perumahan atau tempat-tempat lain dimana sumber nyala dapat timbul.
Pemberian ijin lokasi sumur eksplorasi Migas di wilayah pemukiman juga tidak sesuai dengan Inpres No. 1/1976 tentang sinkronisasi pelaksanaan tugas bidang keagrariaan dengan bidang kehutanan, pertambangan, transmigrasi dan pekerjaan umum dan UU No. 11/1967. Lokasi pemboran Sumur BJP-1 juga tidak sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sidoarjo yang ditetapkan dengan Perda Kabupaten Sidoarjo No.16 tahun 2003. Pada saat ijin lokasi diberikan kepada Lapindo, Perda tersebut belum direvisi. Menurut Pemkab Sidoarjo, terkait dengan RTRW, ijin lokasi diberikan dengan mempertimbangkan kelayakan teknis yang dikeluarkan oleh BP Migas. Jadi, jelas adanya konspirasi hitam itu.
Akal sehat semua orang bisa memikirkan bahwa kegiatan eksplorasi migas yang berdekatan dengan pemukiman penduduk sudah pasti mengandung risiko atau dampak yang besar. Dengan hanya dasar itu pula hukum dapat menyimpulkan bahwa hak pengusahaan Blok Brantas yang diperoleh Lapindo adalah ilegal sebab melanggar berbagai aturan keselamatan sosial.
Meskipun seandainya semburan lumpur Lapindo tersebut bukan suatu niatan, tetapi jika semburan lumpur itu merupakan kemungkinan yang dapat dipikirkan sebelumnya yang akan mengakibatkan nasib buruk masyarakat di sekitarnya, maka unsur `kesengajaan´ itu dapat dilekatkan pada perkara semburan lumpur Lapindo itu, apalagi ternyata BPK juga menemukan banyaknya pelanggaran kaidah keteknikan yang baik dalam proses eksplorasi, yang mengakibatkan semburan lumpur tersebut. Jadi, kasus semburan lumpur Lapindo itu bukan `kelalaian´ tapi sengaja menabrak rambu-rambu keselamatan sosial.
Pelanggaran HAM berat
Melihat fakta-fakta pelanggaran konspiratif dalam perolehan ijin eksplorasi, pengawasan pemerintah yang tidak serius kepada Lapindo, termasuk pembiaran penggunaan peralatan dan teknologi pemboran yang asal-asalan, prediksi geologis pemboran Sumur BJP-1 yang banyak kelirunya sehingga pelaksanaan pemboran menyimpang dari perencanaan, lalu menimbulkan semburan lumpur yang menghancurkan nasib masyarakat secara meluas yang ditangani dengan cara ketidakadilan, maka peristiwa itu dapat dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan sebagai bentuk pelanggaran HAM berat, dengan terusirnya kelompok penduduk akibat konspirasi pengelolaan usaha migas Blok Brantas itu.
Pelanggaran HAM berat yang dirumuskan pasal 9 huruf d dan e UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM menentukan: "Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa : ... d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; ..."
Penegak HAM harus memahami tafsir historis UU No. 26/2000 tersebut yang diadobsi dari Roma Statute of The International Criminal Court (Statuta Roma), yang memuat ketentuan tentang kejahatan kemanusiaan yang sangat serius (the most serious crimes) yang kemudian diterjemahkan menjadi `pelanggaran HAM berat´ oleh UU No. 26/2000. Tetapi pembuat UU No. 26/2000 memotong kalimat pada huruf k pasal 7 ayat (1) Statuta Roma yang menentukan bentuk kejahatan kemanusiaan lain, yaitu: Other inhumane acts of a similar character intentionally causing great suffering, or serious injury to body or to mental or physical health.
Nah, kiranya dengan menerapkan tafsir historis yang progresif terhadap hukum HAM internasional tersebut dikaitkan dengan kasus semburan lumpur Lapindo itu maka para pengambil keputusan di tubuh Grup Bakrie dan pemerintah dalam pengusahaan Blok Brantas tersebut dapat diadili di Pengadilan HAM. Tapi bisakah - dalam praktiknya - hukum HAM berjalan tanpa intervensi politik? Itulah masalah besar praktik penegakan hukum kita selama ini. Reformasi jatuh tersandung di soal itu.
Maka Komnas HAM selaku lembaga independen seyogyanya dijadikan komisi yang tak sebatas selaku penyelidik, tapi juga sebagai penyidik dan penuntut khusus dalam kasus pelanggaran HAM berat. UU No. 39/1999 tentang HAM dan UU No. 26/2000 harus diperbaiki guna menambah fungsi dan wewenang Komnas HAM itu. (Subagyo,SH, www.masbagio.blogspot.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar