Kasus-Kasus
Hukum Kecil Sebaiknya Dimediasi
TANJUNGPINANG
(Suara Karya) Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar, mengatakan, kasus-kasus
hukum yang kecil dan tidak merugikan kepentingan negara serta masyarakat
sebaiknya terlebih dahulu dimediasi."Sebaiknya kasus hukum yang dianggap
kecil dan tidak merugikan kepentingan negara dimediasi terlebih dahulu untuk
berdamai sebelum ada kekuatan hukum tetap," kata Patrialis, saat
memberikan pengarahan di hadapan pejabat-pejabat lingkungan Kementerian Hukum
dan HAM, Provinsi Kepulauan Riau di Tan-jungpinang, pekan lalu.
Patrialis mengatakan, saat ini di
tingkat Pol-hukkam sedang dibicarakan mengenai penyelesaian kasus-kasus kecil
yang tidak merugikan kepentingan masyarakat dan negara melalui mediasi.Hal ini
juga dimaksudkan untuk mengurangi jumlah penghuni lembaga pemasyarakatan dan
rumah tahanan, yang rata-rata sudah over kapasitas."Jadi, harus ada
kebijakan .secara nasional dalam penegakan hukum. Sebab, kalau semua pelaku
kasus kecil masuk penjara cukup memprihatinkan karena warga binaaan di dalam
lembaga pemasyarakatan sudah seperti ikan teri, "katanya.Menurut dia,
masyarakat kecil yang terkena kasus-kasus kecil melakukan perbuatan kriminal
adakalanya karena sudah tidak ada lagi biaya untuk hidup, bahkan kadang kala karena
khilaf melakukan perbuatan tersebut. "Karena itu, dalam memutuskan perkara
harus ada hati nurani dan rasa keadilan," ujarnya.
Patrialis menyatakan tekadnya untuk
menjadikan Kementerian Hukum dan HAM dikenal masyarakat karena keberadaannya
memang dibutuhkan oleh negara dan masyarakat "Seluruh jajaran harus
menjadikan Kementrian Hukum dan HAM dikenal masyarakat sebagai lembaga yang
baik. Jangan masyarakat mengenal Kementerian Hukum dan HAM karena hal-hal yang
tidak positif," katanya.Patrialis Akbar, menginstruksikan kepada seluruh
jajaran Lapas dan Rutan untuk memberikan perhatian lebih kepada warga binaan
(napi), dan tidak mempersulit warga binaan."Termasuk memberikan hak-hak
mereka. Kalau sudah waktunya ke luar dari Lapas, ya keluar," katanya.
Dia juga meminta kepada seluruh
petugas Lapas untuk menghentikan segala bentuk pungli. Tidak boleh ada pungli
di Lapas dan Rutan. Lapas jangan sampai menjadi gunjingan oleh masyarakat
akibat pelayanan yang diberikan kepada warga binaan tidak sesuai dengan hak-hak
yang dimilikinya. "Berikan pelayanan yang baik, mereka juga manusia biasa
yang sedang susah, jangan ditambah susah lagi," tegasnya.
Dalam kunjungan ke LP Tanjungpinang
tersebut. Patrialis didampingi Dirjen Pemasyarakatan Untung Sugiono, Pit Dirjen
Imigrasi Muhammad Indra, Gubernur Kepri Ismeth Abdullah. Ketua DPRD Kepri Nur
Syafriadi, Kakanwil Hukum dan HAM Kepri I Gede Widiartha.Selain berkunjung ke
Lapas Tanjungpinang, Patrialis dan rombongan juga menyempatkan diri mengunjungi
Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Tanjungpinang dan TPI Internasional Tanjung
pinang. (Uniun Sipayung.januari 2010).
Hak dan Kewajiban
Ketika kita pergi ke kedai dan dalam
transaksi usdhda membeli sebotol kecap, maka kewajiban kita adalah membayar
harga kecap dan hak kita adalah menerima kecap tersebut. Kewajiban pemilik
kedai adalah memberikan kecap sesuai kesepakatan dan hak penjual adalah
menerima uang bayaran dari kita. Ketika kita berjanji untuk bertemu seseorang
pada tempat dan jam tertentu, maka kewajiban kita adalah menepati janji kepada
kawa ntersebut dan hak kita adalah memperoleh ketepatan janji dari kawan itu,
sedangkan hak kawan itu itu adalah pelunasan janji tersebut dan kewajibannya
adalah melunasi janji itu.
Dalam kedua kasus tadi, untuk yang
pertama, pemilik hak bisa melepaskan haknya. Pemilik kedai bisa melepaskan
haknya, sehingga kecap menjadi gratis, atau pembeli melepas haknya, sehingga
pemilik kedai mendapat rejeki nomplok, uang tunai tanpa perlu melunasi
kewajibannya menyerahkan kecapnya. Dalam kasus janji, jika salah satu melepas
haknya, tentu menjadi rumit, oleh sebab itu dalam berjanji kedua pihak harus
menunaikan kewajiban sekaligus mendapatkan haknya.
“Kemerdekaan adalah hak segala
bangsa,…dst ” (UUD45 NKRI). dalam konteks ini, bisakah kita melepaskan hak kita
untuk merdeka ? tentu bisa saja, artinya tetap dijajah oleh suatu bangsa. Jika
Kemerdekaan adalah hak, siapa yg memiliki kewajiban ? tentu si penjajah. Jadi
Penjajah berkewajiban memberikan kemerdekaan kepada yg terjajah, kecuali bangsa
itu memang merelakan haknya sebagai warga merdeka.
Warga Negara juga memiliki hak mulai
dari yg asasi hingga yg tidak asasi, lantas siapa yang berkewajiban menjamin
atau menunaikan kewajibannya, karena Hak dan Kewajiban itu adalah bak kedua
muka sekeping uang logam, menjadi satu tidak bisa dipisah. Dalam kasus itu, yg
berkewajiban adalah Negara, atau pemerintahan sebagai pengelola negara. Tetapi,
sesudah warga negara memperoleh haknya, mereka memiliki kewajiban untuk patuh
kepada aturan Negara dan negara berhak menerima kepatuhan warganya.
Kemudian, dalam UU Sidiknas, adalah
istilah Wajib Belajar (Wajar), artinya belajar itu wajib. Dengan kritis kita
bertanya, lantas siapa yg berhak menerima “kewajiban” belajar itu ? Negara ?
ah,… yg benar aja. Menurutku, belajar itu adalah Hak Anak dan negara wajib
memberikan hak itu. Lantas apa yang diperoleh Negara ? Kehadiran anak itu
disekolah, di perpustakaan hingga diakhir proses menjadi adalah kemampuan anak
tersebut ketika dewasa menjadi warga negara yang mandiri, berani hidup dan memuliakan
kehidupan, kata pak Buchori.
Negeri timur seperti Indonesia dalam
konteks Hak dan Kewajiban ini, lebih mengutamakan kewajiban, sehingga
seringkali lupa dengan hak-nya. Saya tidak tahu, apakah ini disebabkan oleh
lamanya menjadi bangsa terjajah, sehingga yg diingat hanya kewajiban, bukankah
terjajah itu haknya sering diingkari oleh yang menjajah ? Selain itu, hak juga
tabu untuk dituntut, karena berkeyakinan bahwa si penerima kewajiban kita,
pasti akan memberikan hak kita, yg notabene adalah kewajiban mereka, padahal
belum tentu !! Umumnya kita wajib membayar pajak dan hak kita adalah memperole
hlayanan yg sesuai dengan pajak yg kita bayar dan itu adalah kewajiban
pemerintah, tetapi seringkali diingkari.
Di Negeri Barat, terbalik.
Seringkali, sebelum melaksanakan kewajiban, mereka menuntut hak-nya dulu,
akhirnya semua berebut menuntut hak dan terjadilah “transaksi” Hak dan
Kewajiban, jika hak tidak cocok dengan yg dijanjikan, yg wajib memberikan akan
dituntut dan pertengkaran terjadi, demikianlah proses itu terjadi dan setiap
hari terjadi tawar menawar si A penerima/pemberi hak/kewajiban dan si B
penerima/pemberi hak/kewajiban. Kadangkala, hak lebih sedikit dari kewajiban,
seringkali pula, kewajiban lebih banyak dari hak. Jika keduanya tidak sepakat
dengan transaksi, maka pengadil akan menetapkan, siapa yg curang.
Di negeri timur, khususnya
Indonesia, karena seringkali si pemberi kewajiban berharap haknya ditunaikan
oleh si penerima kewajiban, maka ketika hak nya ditahan, mereka sungkan
menuntut dan dipendam terus, seringkali meledak terjadilah amok.
Sebentar lagi pemilu dan memilih
wakil dan presiden itu menurut saya adalah hak, oleh sebab itu tidak boleh
dijadikan berhukum haram jika melepas. Tetapi jika memilih wakil rakyat dan
presiden itu menjadi kewajiban, maka bisa berhukum wajib hingga haram. Ini
berdasar logikaku dalam melihat konteks hak dan Kewajiban ini. Apatah lagi,
jika memilih dalam Pemilu adalah kewajiban (lawan dari Hak) maka siapa yg
berhak mendapatkan, tentunya yg dipilih, enak betul. Seharusnya, karena memilih
adalah hak, maka ibarat “jual beli” pemerintah yang menjual pemilu itu dengan
menyediakan calon yg layak beli dan pemilu yg layak ikut. Ketika Warga sudah
menggunakan ‘hak”nya, maka mereka harus menunaikan kewajibannya, seperti patuh
aturan, membayar pajak, aktif di RT dlsb, dan seterusnya. (Ahmad Rizali).
Kasus
Kurang Bayar Pajak, DJP Dinilai Lambat
Jakarta-Direktorat Jenderal Pajak
diminta transparan dan menjelaskan kepada publik mengapa kekurangan pajak
perusahaan batu bara dan kelapa sawit 2004-2006 baru terungkap sekarang.
Di samping itu, Dirjen pajak diminta
memberi terminologi yang tepat untuk menyebut penyelewengan yang dilakukan
wajib pajak agar tidak menyesatkan masyarakat dan mengaburkan tindak pidana
yang mungkin dilakukan oleh wajib pajak.
“Kami respek terhadap pengungkapan
kasus-kasus ini, namun Ditjen harus menggali lebih dalam kenapa kekurangan
pajak yang sudah berlangsung sejak 2004 baru terungkap sekarang,” kata Wakil
Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW) Danang Widiyoko, Sabtu (29/12).
Ia mempertanyakan kinerja aparat
pajak mengapa tidak secara dini mengetahui praktik-praktik seperti ini. “Jika
praktik ini ditemukan saat ini, pasti karena ada ada laporan dan bukti-bukti
yang menyatakan ketidakwajaran dalam pembayaran pajak,” tandasnya.
Ia juga menegaskan Ditjen Pajak juga
tidak boleh diskriminatif dan berstandar ganda dalam terminologi penyebutan
penyimpangan oleh wajib pajak. “Terminologi harus jelas apakah hal itu disebut
kekurangan pajak, penghindaran pajak atau penggelapan pajak,” katanya.
Penyebutan yang tidak tepat akan menyesatkan masyarakat dan menimbulkan
keresahan.
Menurutnya, penyelesaian kasus-kasus
pajak seperti ini tidak boleh hanya mengedepankan kepentingan wajib pajak dan
mengabaikan rasa keadilan di masyarakat. Jika Ditjen pajak mengunakan eufimisme
terhadap istilah penggelapan pajak menjadi kekurangan membayar pajak sangat
berbahaya karena akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia.
Ketua Asosiasi Pengusaha Batu Bara
Indonesia Jeffry Mulyono mengaku tidak mengetahui permasalahan kekurangan
pembayaran pajak sebesar Rp 2,7 triliun dari tiga perusahaan batu bara. Jeffry
meyakini bahwa dirinya belum mendengar barita tersebut dan tidak mengerti bahwa
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah menemukan kekurangan pembayaran pajak
dari tiga perusahaan batu bara dari hasil rekapitulasi kekurangan pembayaran
pajak tahun 2004-2006.
Kekurangan Pembayaran
Direktorat Jenderal Pajak (DJP)
menemukan kekurangan pembayaran tiga perusahaan batu bara dan dua perusahaan
kelapa sawit terbesar di Indonesia mencapai Rp 3,78 triliun.
Angka sebesar itu merupakan hasil
rekapitulasi kekurangan pembayaran pajak tahun 2004-2006. Sedangkan untuk 2007,
dari tiga perusahaan batu bara, jumlah kekurangan pajak (Pajak Penghasilan
Pasal 29) mencapai Rp 1,5 triliun.
Hal tersebut diungkapkan Dirjen
Pajak Darmin Nasution dalam jumpa pers, Jumat (29/12). Ia mengatakan pihaknya
telah melakukan analisis dan evaluasi profil perpajakan di beberapa sektor yang
tengah booming, seperti jasa konstruksi, real estate, batu bara, dan perkebunan
kelapa sawit.
Untuk perusahaan batu bara, DJP
menemukan tiga perusahaan yang pembayaran pajaknya masih kurang Rp 2,7 triliun.
“Yang dua sudah selesai kita berikan konseling. Hasilnya mengejutkan.
Kekurangan pembayaran pajak untuk tahun 2004-2005 dan 2005-2006 mencapai Rp 1,7
triliun. Jadi lebih besar dari Asian Agri,” ujarnya. Sedangkan, proses
konseling 1 perusahaan lainnya belum selesai. Namun, diperkirakan kekurangan
pembayaran pajak dari perusahaan ini mencapai Rp 1 triliun.
Temuan di dua grup perusahaan
perkebunan kelapa sawit juga cukup mengejutkan. Dari satu grup, Darmin
menemukan kekurangan bayar dari tahun 2004-2006 sebesar Rp 1 triliun. “Namun,
grup menganggap masih di bawah itu,” kata Darmin. Sedangkan, kekurangan untuk
PPh 29 Tahun 2007 mencapai Rp 548 miliar. (Sigit Wibowo)
Antara
Hukum dan HAM
Presiden SBY akhirnya menolak
permohonan grasi kedua yang diajukan oleh terpidana mati kasus Poso: Fabianus
Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu. Alasannya, berdasarkan pertimbangan
Mahkamah Agung (MA), semua proses hukum sudah dilalui, termasuk penggunaan hak
grasi. Karenanya, vonis mati itu sudah berkekuatan hukum dan dapat segera
dieksekusi.
Jika dipikir dan dikaji lebih jauh,
kasus ini memang merupakan dilema bagi publik Indonesia. Dilema sebab secara
hukum, kasus ini memang sudah melalui semua proses hukum. Maka, jika digelar
sidang baru atas kasus ini, akan muncul spekulasi bahwa hukum di Indonesia
belum bisa ditegakkan. Namun, dalam tinjauan Hak Asasi Manusia (HAM), kasus ini
masih penuh tanda tanya.
Setidaknya ada tujuh pertanyaan yang
diajukan Antonius Sudirman, dosen Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya
Makassar, yang masih relevan, terhadap keseluruhan proses hukum yang berlangsung:
1. Pada waktu sidang kasus Tibo Cs,
suasana Pengadilan Negeri Palu sangat tidak kondusif. Di luar pengadilan
terjadi demo kelompok masyarakat yang menghendaki Tibo Cs dihukum. Hal ini,
menurut Sudirman, menyulitkan bagi hakim dalam menegakkan hukum secara jujur
dan adil. Seharusnya, sidang berjalan tanpa adanya desakan dari kelompok
manapun, baik pemerintah, LSM, ormas, atau siapa saja, dengan ataupun tanpa
kepentingan tertentu. Proses hukum yang jujur dan adil seharusnya menyerahkan
sepenuhnya kepada para hakim, jaksa, dan elemen-elemen hukum, untuk
mempertimbangkan sebijak mungkin, berdasarkan tata hukum dan pertimbangan yang
sehat.
2. Ada kesan bahwa proses hukum
terhadap Tibo Cs dipaksakan diadili secara cepat. Sudirman menyebutkan bahwa
dalam waktu sekitar setahun kasus tersebut sudah sampai pada putusan akhir di
MA. Diawali dengan penangkapan (25 Juli 2000), putusan Pengadilan Negeri Palu
(5 April 2001), putusan Pengadilan Tinggi Palu (17 Mei 2001), dan Putusan MA di
tingkat kasasi (11 Oktober 2001). Kenapa harus buru-buru? Apakah alasannya
semata-mata hanya penegakan hukum ataukah ada 'permainan' lain di balik kasus
ini?
3. Tibo Cs pernah mengajukan 16 nama
yang dianggap terkait dalam kasus ini. Jika Tibo Cs dihukum mati, siapa lagi
saksi hidup yang dapat dimintai keterangan perihal ke-16 nama tersebut? Siapa
sih ke-16 nama itu sehingga proses hukum terhadap mereka terkesan diulur-ulur?
Mungkin hukum Indonesia menganut prinsip lebih baik menyelamatkan 16 daripada
3!
4. Ditemukannya bukti baru (novum)
yang mengindikasikan bahwa Tibo Cs tidak terlibat sebagai dalang kerusuhan
Poso. Jika bukti itu benar, berarti aparat hukum telah mengabaikan aspek
kecermatan dan kehati-hatian dalam proses peradilan terhadap suatu tindak
kejahatan serius dengan ancaman pidana mati. Apa yang bisa membutakan aparat?
Sengaja atau memang terlewatkan?
5. Kasus kerusuhan Poso merupakan
kasus besar. Sekitar 2000-an jiwa menjadi korban dalam peristiwa ini. Ratusan
rumah tinggal, tempat ibadah, kantor, toko, dan pasar hangus terbakar. Dalam
logika sederhana pun sungguh sulit memahami bagaimana peristiwa sedahsyat itu
didalangi oleh tiga orang yang nota bene bukan warga Poso. Ketiganya juga
bukanlah orang yang layak diperhitungkan sebagai pengerah massa. Masih banyak
orang yang memiliki pengaruh lebih besar di Poso ketimbang Tibo Cs.
6. Kasus Poso berlangsung dalam tiga
periode sejak 1998 hingga 2000. Tibo Cs dianggap terlibat dalam kasus Poso III,
tetapi terhadap mereka ditanggungkan juga kasus Poso I dan II. Sungguh di luar
logika sehat! Siapa yang sakit?
7. Kasus kerusuhan Poso sarat muatan
SARA, politik, korupsi, dan perebutan kekuasaan yang melibatkan satu atau lebih
kelompok yang saling berhadap-hadapan, tetapi yang dijatuhi hukuman mati adalah
anggota dari salah satu kelompok tertentu yang tidak memiliki kekuasaan.
Mengapa kelompok lain tidak diproses
sesuai aturan hukum yang berlaku? Bukankah semua orang dan kelompok adalah sama
di depan hukum?
Pemerintah harusnya bertindak arif
dan bijaksana menangani kasus semacam ini. Penegakan hukum memang merupakan
prioritas utama di negeri yang carut-marut ini, tetapi penegakan HAM juga
memiliki prioritas yang sama. Dunia internasional tidak semata-mata menyorot
penegakan hukum di negara ini, tetapi juga penegakan HAM.
Pemberian hadiah oleh Paus
Benediktus XVI kepada ketiga terpidana mati mestinya menjadi sinyal bagi
pemerintah bahwa dunia internasional tidak sedang menutup mata terhadap
penanganan kasus ini. Belum lagi upaya kelompok pemuda lintas agama di Manado
yang tengah mencari dukungan internasional agar kasus ini diangkat ke tingkat
Mahkamah Internasional.
Jadi, marilah pertajam nurani! Kita
memang harus serius menangani kasus besar di Poso, tetapi bukan berarti menjadi
pahlawan kesiangan yang lupa dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Negara ini tidak cukup hanya dengan
mengobati berbagai bentuk ketidakdilan, tetapi jauh yang lebih penting adalah
nurani yang lebih jernih, sehat, dan peka terhadap kemanusiaan. Jika harga tiga
nyawa manusia terbuang percuma hanya karena faktor penegakan hukum, apalagi
mengabaikan proses peradilan yang transparan, maka sesungguhnya mereka yang
menjatuhkan hukuman mati itu jauh lebih kejam daripada mereka yang dihukum
mati!
Satu tangan tak kuasa menjebol
'penjara ketidakadilan'.
Dua tangan tak mampu merobohkannya.Tapi
bila satu dan dua dan tiga dan seratus dan seribu tangan bersatu,kita akan
berkata, "Kami mampu!"
"Sebab segala sesuatu adalah
dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia:Bagi Dialah kemuliaan sampai
selama-lamanya!" (Roma 11:36) (Redaksi
Eskol-Net eskol@mitra.net.id).
Kasus
Hak : Pemerkosaan adalah Kasus Kekerasan
Terbanyak di Lampung.
Lembaga Advokasi Perempuan Damar
Lampung mencatat, ada 206 kasus tindak kekerasan terhadap perempuan di Lampung.
Kasus tersebut didominasi pemerkosaan, pencabulan, dan penganiayaan.
Koordinator Penanganan Kasus dan Pendidikan Publik Lembaga Advokasi Perempuan
Damar Titin Kurniasih mengatakan, dari 206 kasus tersebut, terdapat 105 kasus
pemerkosaan, 39 kasus pencabulan, dan 32 kasus penganiayaan. Dari pengamatan
Damar, kasus pemerkosaan justru lebih banyak dilakukan masyarakat dengan strata
sosial dan tingkat intelektual tinggi. Mereka juga keluarga atau orang terdekat
dari korban.
Adapun korban terbanyak adalah
pembantu rumah tangga (PRT) dan anak-anak yang merupakan keponakan atau saudara
teman. Menurut Titin, hal itu menunjukkan bahwa kasus pemerkosaan yang terjadi
di masyarakat Lampung diakibatkan mulai lunturnya tingkat kekerabatan yang
dicemari sikap moralitas yang tidak baik. ”Faktor ekonomi tidak berperan di
sini,” ujar Titin. Sebagai gambaran, dari 206 kasus kekerasan, pelaku dari 166
kasus mengenal korbannya. Sementara dari data usia korban, sebanyak 108
perempuan berusia 0-17 tahun menjadi korban kekerasan. Disusul 44 perempuan
berusia 18-25 tahun dan 9 perempuan berusia antara 26 tahun dan 30 tahun.
Dari pihak pelaku, sebanyak 60
pelaku berusia 18-25 tahun dan 23 pelaku berusia 46 tahun ke atas. Selebihnya
pelaku berusia antara 0 tahun dan 17 tahun serta 26 tahun hingga 45 tahun.
Lebih lanjut, Titin mengatakan, kendati kasus kekerasan terhadap perempuan pada
tahun 2008 tercatat banyak, jumlah kasus tersebut sudah jauh menurun
dibandingkan dengan jumlah kasus sebelum tahun 2003. Sampai dengan tahun 2003
jumlah kasus kekerasan mencapai lebih dari 300 kasus.
Anak
dan Hukum
Sebelumnya, Lembaga Advokasi Anak
(Lada) Lampung mencatat, sebanyak 228 anak terlibat hukum atau beperkara dengan
hukum selama tahun 2008. Adapun jumlah kasus anak yang berkonflik dengan hukum
meningkat 100 persen dibandingkan jumlah kasus pada tahun 2007. Direktur
Eksekutif Lada Dede Suhendri beberapa waktu lalu mengatakan, pada tahun 2008
terjadi 175 kasus yang terdiri atas 15 jenis kasus hukum yang didampingi.
Adapun pada tahun 2007, terjadi 113 kasus yang terdiri atas 15 jenis kasus yang
didampingi.
Menurut Dede, dari pendampingan
Lada, penyebab meningkatnya kasus hukum pada anak adalah pengaruh ekonomi
nasional yang dipicu kenaikan harga bahan bakar minyak. Pemicu kedua adalah
konsumsi media elektronik yang menayangkan tayangan yang tidak mendidik dan
cenderung menampilkan gaya hidup konsumtif sehingga memengaruhi perilaku anak.
Dari 175 kasus hukum, kasus pencurian merupakan kasus yang paling banyak
terjadi, yakni sebanyak 103 kasus. Kasus hukum kedua yang banyak terjadi adalah
kasus narkoba, yaitu sebanyak 17 kasus. Di urutan ketiga adalah kasus
perampasan (9 kasus) disusul dengan kasus perjudian (8 kasus).
Jumlah kasus penganiayaan sebanyak
tujuh kasus. Kasus pemerkosaan, pencabulan, pemalakan, pembunuhan, dan beberapa
kasus lainnya berjumlah antara 1 dan 6 kasus. Lebih lanjut, Dede mengatakan,
tingginya kasus pencurian oleh anak dari tahun ke tahun karena adanya
kesempatan untuk melakukan hal tersebut. Sementara kasus narkoba pada anak-anak
juga meningkat. Pada 2007 LAdA mencatat hanya terdapat lima kasus anak yang
terlibat narkoba. Namun 2008 jumlah kasusnya meningkat menjadi 17 kasus. Oleh
karena itu, polisi harus terus memberantas peredaran narkoba di Lampung,”
ujarnya.
Kasus
Negara Hukum
Jika hukum HAM internasional
dikaitkan dengan kasus semburan lumpur Lapindo, maka bos Grup Bakrie dan
pemerintah dalam pengusahaan Blok Brantas tersebut dapat diadili di Pengadilan
HAM. Tapi bisakah - dalam praktiknya - hukum HAM berjalan tanpa intervensi
politik? Itulah masalah besar praktik penegakan hukum kita selama ini.
Reformasi jatuh tersandung di soal itu.
Hingga hari ini semburan lumpur
Lapindo sampai pada fase yang terus mengkhawatirkan, dengan korban terus
bertambah. Akibat semburan lumpur yang hampir genap dua tahun itu telah semakin
memperberat dan memperluas penderitaan sosial. Jika semburan lumpur itu
berjalan hingga 50 tahun, Greenomics menghitung biaya penanggulangan masalah
lumpur Lapindo itu akan menjadi Rp. 756 triliun (Hukumonline.com, 13/2/2007).
Sedangkan trio pemegang
partisipating interest Blok Brantas yang terdiri dari Grup Bakrie, Medco dan
Santos menanggung hanya Rp. 5 triliun sesuai janji mereka yang berlindung di
balik jubah Perpres No. 14/2007.
Jika itu benar, negara akan
menanggung Rp. 751 triliun, jika tak ada upaya keras lebih lanjut untuk
menghentikan semburan lumpur Lapindo. Upaya penghentian semburan lumpur pernah
dilakukan tapi dihentikan dengan alasan `dana.´ Lalu ditumpuki dengan pendapat
sekelompok ahli geologi yang memustahilkan upaya penghentian semburan. Ini
menjadi misteri tersendiri yang perlu dikuak.
Unsur kesengajaan
Kejaksaan RI hingga kini tampak ragu
dengan setumpuk alat bukti pidana kasus semburan lumpur itu, maka patut
dipertanyakan. Pasalnya, selain telah adanya berbagai alat dan barang bukti,
ada juga acuan dokumen otentik, yaitu hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) tertanggal 29 Mei 2007 yang sudah sangat gamblang menjelaskan berbagai
pelanggaran dalam proses peralihan Blok Brantas hingga kesalahan proses eksplorasi.
Kejaksaan seharusnya tidak terjebak dalam kancah perbedaan pendapat para ahli
geologi. Bukankah selama ini para koruptor yang diadili juga `menyewa´ ahli dan
perkaranya tetap dibawa ke pengadilan?
Berdasarkan hasil audit BPK,
ditemukan fakta bahwa lokasi pemboran Sumur Banjar Panji (BJP)-1 berada 5 meter
dari wilayah permukiman, 37 meter dari sarana umum (jalan tol Surabaya -
Gempol) dan kurang dari 100 meter dari pipa gas Pertamina. Selain Sumur BJP-1,
terdapat sejumlah sumur-sumur eksploitasi (sudah produksi) yang dikelola oleh
Lapindo yang jarak lokasinya kurang 100 meter dari permukiman. Pemberian ijin
lokasi pemboran sumur migas yang berdekatan dengan permukiman dan sarana umum
serta obyek vital tidak sesuai dengan Ketentuan Badan Standar Nasional
Indonesia No.13-6910-2002 tentang operasi pengeboran darat dan lepas pantai di
Indonesia yang antara lain menyebutkan bahwa sumur-sumur harus dialokasikan
sekurang-kurangnya 100 meter dari jalan umum, rel kereta api, pekerjaan umum,
perumahan atau tempat-tempat lain dimana sumber nyala dapat timbul.
Pemberian ijin lokasi sumur
eksplorasi Migas di wilayah pemukiman juga tidak sesuai dengan Inpres No.
1/1976 tentang sinkronisasi pelaksanaan tugas bidang keagrariaan dengan bidang
kehutanan, pertambangan, transmigrasi dan pekerjaan umum dan UU No. 11/1967.
Lokasi pemboran Sumur BJP-1 juga tidak sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Kabupaten Sidoarjo yang ditetapkan dengan Perda Kabupaten Sidoarjo No.16 tahun
2003. Pada saat ijin lokasi diberikan kepada Lapindo, Perda tersebut belum
direvisi. Menurut Pemkab Sidoarjo, terkait dengan RTRW, ijin lokasi diberikan
dengan mempertimbangkan kelayakan teknis yang dikeluarkan oleh BP Migas. Jadi,
jelas adanya konspirasi hitam itu.
Akal sehat semua orang bisa
memikirkan bahwa kegiatan eksplorasi migas yang berdekatan dengan pemukiman
penduduk sudah pasti mengandung risiko atau dampak yang besar. Dengan hanya
dasar itu pula hukum dapat menyimpulkan bahwa hak pengusahaan Blok Brantas yang
diperoleh Lapindo adalah ilegal sebab melanggar berbagai aturan keselamatan
sosial.
Meskipun seandainya semburan lumpur
Lapindo tersebut bukan suatu niatan, tetapi jika semburan lumpur itu merupakan
kemungkinan yang dapat dipikirkan sebelumnya yang akan mengakibatkan nasib
buruk masyarakat di sekitarnya, maka unsur `kesengajaan´ itu dapat dilekatkan
pada perkara semburan lumpur Lapindo itu, apalagi ternyata BPK juga menemukan
banyaknya pelanggaran kaidah keteknikan yang baik dalam proses eksplorasi, yang
mengakibatkan semburan lumpur tersebut. Jadi, kasus semburan lumpur Lapindo itu
bukan `kelalaian´ tapi sengaja menabrak rambu-rambu keselamatan sosial.
Pelanggaran HAM berat
Melihat fakta-fakta pelanggaran
konspiratif dalam perolehan ijin eksplorasi, pengawasan pemerintah yang tidak
serius kepada Lapindo, termasuk pembiaran penggunaan peralatan dan teknologi
pemboran yang asal-asalan, prediksi geologis pemboran Sumur BJP-1 yang banyak
kelirunya sehingga pelaksanaan pemboran menyimpang dari perencanaan, lalu
menimbulkan semburan lumpur yang menghancurkan nasib masyarakat secara meluas
yang ditangani dengan cara ketidakadilan, maka peristiwa itu dapat
dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan sebagai bentuk pelanggaran HAM
berat, dengan terusirnya kelompok penduduk akibat konspirasi pengelolaan usaha
migas Blok Brantas itu.
Pelanggaran HAM berat yang
dirumuskan pasal 9 huruf d dan e UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM
menentukan: "Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari
serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut
ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa : ... d. pengusiran
atau pemindahan penduduk secara paksa; e. perampasan kemerdekaan atau perampasan
kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas)
ketentuan pokok hukum internasional; ..."
Penegak HAM harus memahami tafsir
historis UU No. 26/2000 tersebut yang diadobsi dari Roma Statute of The
International Criminal Court (Statuta Roma), yang memuat ketentuan tentang
kejahatan kemanusiaan yang sangat serius (the most serious crimes) yang
kemudian diterjemahkan menjadi `pelanggaran HAM berat´ oleh UU No. 26/2000.
Tetapi pembuat UU No. 26/2000 memotong kalimat pada huruf k pasal 7 ayat (1)
Statuta Roma yang menentukan bentuk kejahatan kemanusiaan lain, yaitu: Other
inhumane acts of a similar character intentionally causing great suffering, or
serious injury to body or to mental or physical health.
Nah, kiranya dengan menerapkan
tafsir historis yang progresif terhadap hukum HAM internasional tersebut
dikaitkan dengan kasus semburan lumpur Lapindo itu maka para pengambil
keputusan di tubuh Grup Bakrie dan pemerintah dalam pengusahaan Blok Brantas
tersebut dapat diadili di Pengadilan HAM. Tapi bisakah - dalam praktiknya -
hukum HAM berjalan tanpa intervensi politik? Itulah masalah besar praktik
penegakan hukum kita selama ini. Reformasi jatuh tersandung di soal itu.
Maka Komnas HAM selaku lembaga
independen seyogyanya dijadikan komisi yang tak sebatas selaku penyelidik, tapi
juga sebagai penyidik dan penuntut khusus dalam kasus pelanggaran HAM berat. UU
No. 39/1999 tentang HAM dan UU No. 26/2000 harus diperbaiki guna menambah
fungsi dan wewenang Komnas HAM itu. (Subagyo,SH,
www.masbagio.blogspot.com).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar