BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Narkoba (singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan
Bahan Adiktif berbahaya lainnya) adalah bahan/zat yang jika dimasukan dalam
tubuh manusia, baik secara oral/diminum, dihirup, maupun disuntikan, dapat
mengubah pikiran, suasana hati atau perasaan, dan perilaku seseorang. Narkoba
dapat menimbulkan ketergantungan (adiksi) fisik dan psikologis.
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari
tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa nyeri dan dapat
menimbulkan ketergantungan.Yang termasuk jenis Narkotika adalah :
ü Tanaman papaver, opium mentah, opium masak
(candu, jicing, jicingko), opium obat, morfina, kokaina, ekgonina, tanaman
ganja, dan damar ganja.
ü Garam-garam dan turunan-turunan dari morfina
dan kokaina, serta campuran-campuran dan sediaan-sediaan yang mengandung bahan
tersebut di atas.
Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun
sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif
pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan pada aktivitas mental dan
perilaku. Zat yang termasuk psikotropika antara lain : Rohypnol, Magadon,
Valium, Mandarax, Amfetamine, Fensiklidin, Metakualon, Metifenidat,
Fenobarbital, Flunitrazepam, Ekstasi, Shabu-shabu, dsb.
Bahan Adiktif berbahaya lainnya adalah bahan-bahan
alamiah, semi sintetis maupun sintetis yang dapat dipakai sebagai pengganti
morfina atau kokaina yang dapat mengganggu sistim syaraf pusat, seperti :
Alkohol yang mengandung ethyl etanol, inhalen/sniffing (bahan pelarut) berupa
zat organik (karbon) yang menghasilkan efek yang sama dengan yang dihasilkan
oleh minuman yang beralkohol atau obat anaestetik jika aromanya dihisap.
Contoh: lem/perekat, aceton, ether, dsb.
Ekstasi merupakan narkoba jenis psikotropika, sejenis
pil dari kumpulan Amphetamine-Type Stimulant (ATS). Secara kimianya, ia dikenal
dengan 3,4 Methylenedioxymethamphetamine (MDMA). Ekstasi dapat membuat tubuh si
pemakai memiliki energi yang lebih dan juga bisa mengalami dehidrasi yang
tinggi. Sehingga akibatnya dapat membuat tubuh kita untuk terus bergerak.
1.2 Tujuan
Penulisan
·
Untuk mengetahui jenis – jenis narkoba yang ada
·
Untuk mengetahui secara jelas dan terperinci apa itu ekstasi
·
Untuk mengetahui bagaimana ciri – ciri khusus seseorang yang mengkonsumsi
ekstasi
·
Untuk mengetahui dampak dan efek yang ditimbulkan dari penggunaan ekstasi
khususnya bagi remaja
BAB II
PERMASALAHAN
Sebagian besar para remaja mulai
melihat adanya “kenyataan” lain di luar dari yang selama ini diketahui dan
dipercayainya. Ia akan melihat bahwa ada banyak aspek dalam melihat hidup dan
beragam jenis pemikiran yang lain. Baginya dunia menjadi lebih luas dan
seringkali membingungkan, terutama jika ia terbiasa dididik dalam suatu
lingkungan tertentu saja selama masa kanak-kanak.
Kemampuan berpikir dalam dimensi
moral (moral reasoning) pada remaja berkembang karena mereka mulai melihat
adanya kejanggalan dan ketidakseimbangan antara yang mereka percayai dahulu
dengan kenyataan yang ada di sekitarnya. Mereka lalu merasa perlu
mempertanyakan dan merekonstruksi pola pikir dengan “kenyataan” yang baru.
Perubahan inilah yang seringkali mendasari sikap “pemberontakan” remaja
terhadap peraturan atau otoritas yang selama ini diterima bulat-bulat.
Misalnya, jika sejak kecil
pada seorang anak diterapkan sebuah nilai moral yang mengatakan bahwa korupsi
itu tidak baik.pada masa remaja ia akan mempertanyakan mengapa dunia sekelilingnya
membiarkan korupsi itu tumbuh subur bahkan sangat mungkin korupsi itu dinilai
baik dalam suatu kondisi tertentu.
Sesungguhnya kebanyakan remaja percaya terhadap Tuhan
dan menjalankan agama, karena mereka terdidik dalam lingkungan yang beragama,
karena bapak ibunya orang beragama, teman dan masyarakat sekelilingnya rajin
beribadah maka mereka ikut percaya dan melaksanakan ibadah dan ajaran-ajaran
agama sekedar mengikuti suasana lingkungan dimana ia hidup.
Para remaja merasa ragu untuk menentukan antara unsur
agama dengan mistik sejalan dengan perkembangan masyarakat kadang-kadang secara
tidak di sadari tindak keagamaan yang mereka lakukan di topangi oleh praktek
kebatinan yang mistik. Penyatuan unsur ini merupakan suatu dilemma yang kabur
bagi para remaja.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Perkembangan Moral Remaja
Sebagian besar para remaja mulai
melihat adanya “kenyataan” lain di luar dari yang selama ini diketahui dan
dipercayainya. Ia akan melihat bahwa ada banyak aspek dalam melihat hidup dan
beragam jenis pemikiran yang lain. Baginya dunia menjadi lebih luas dan
seringkali membingungkan, terutama jika ia terbiasa dididik dalam suatu
lingkungan tertentu saja selama masa kanak-kanak.
Kemampuan berpikir dalam dimensi
moral (moral reasoning) pada remaja berkembang karena mereka mulai melihat
adanya kejanggalan dan ketidakseimbangan antara yang mereka percayai dahulu
dengan kenyataan yang ada di sekitarnya. Mereka lalu merasa perlu
mempertanyakan dan merekonstruksi pola pikir dengan “kenyataan” yang baru.
Perubahan inilah yang
seringkali mendasari sikap “pemberontakan” remaja terhadap peraturan atau
otoritas yang selama ini diterima bulat-bulat. Misalnya, jika sejak kecil pada
seorang anak diterapkan sebuah nilai moral yang mengatakan bahwa korupsi itu
tidak baik.pada masa remaja ia akan mempertanyakan mengapa dunia sekelilingnya
membiarkan korupsi itu tumbuh subur bahkan sangat mungkin korupsi itu dinilai
baik dalam suatu kondisi tertentu.
Hal ini tentu saja akan menimbulkan
konflik nilai bagi sang remaja. Konflik nilai dalam diri remaja ini lambat laun
akan menjadi sebuah masalah besar, jika remaja tidak menemukan jalan keluarnya.
Kemungkinan remaja untuk tidak lagi mempercayai nilai-nilai yang ditanamkan
oleh orangtua atau pendidik sejak masa kanak-kanak akan sangat besar jika
orangtua atau pendidik tidak mampu memberikan penjelasan yang logis, apalagi
jika lingkungan sekitarnya tidak mendukung penerapan nilai-nilai tersebut.
(Dariyo,
A. 2004.)
Istilah moral berasal dari kata Latin "mos"
(Moris), yang berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan/niali-nilai atau tata
cara kehidupan. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan
melakukan peraturan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral. Nilai-nilai moral
itu, seperti:
1. Seruan untuk berbuat
baik kepada orang lain, memelihara ketertiban dan keamanan, memelihara
kebersihan dan memelihara hak orang lain.
2. Larangan mencuri,
berzina, membunuh, meminum-minumanan keras dan berjudi.
Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah
laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh
kelompok sosialnya. Sehingga tugas penting yang harus dikuasai remaja adalah
mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompok daripadanya dan kemudian mau
membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan sosial tanpa terus dibimbing,
diawasi, didorong, dan diancam hukuman seperti yang dialami waktu anak-anak.
Remaja diharapkan mengganti konsep-konsep moral yang
berlaku umum dan merumuskannya ke dalam kode moral yang akan berfungsi sebagai
pedoman bagi perilakunya.Tidak kalah pentingnya, sekarang remaja harus
mengendalikan perilakunya sendiri, yang sebelumnya menjadi tanggung jawab orang
tua dan guru.
Mitchell telah meringkaskan lima perubahan dasar dalam
moral yang harus dilakukan oleh remaja yaitu:
1. Pandangan moral
individu semakin lama semakin menjadi lebih abstrak dan kurang konkret.
2. Keyakinan moral lebih
berpusat pada apa yang benar dan kurang pada apa yang salah. Keadilan muncul
sebagai kekuatan moral yang dominant.
3. Penilaian moral
menjadi semakin kognitif. Ia mendorong remaja lebih berani menganalisis kode
social dan kode pribadi dari pada masa anak-anak dan berani mengambil keputusan
terhadap berbagai masalah moral yang dihadapinya.
4. Penilaian moral
menjadi kurang egosentris.
5.
Penilaian moral secara psikologis menjadi lebih mahal dalam arti bahwa
penilaian moral merupakan bahan emosi dan menimbulkan ketegangan psikologis.
Pada masa remaja, laki-laki dan perempuan telah
mencapai apa yang oleh Piaget disebut tahap pelaksanaan formal dalam kemampuan
kognitif. Sekarang remaja mampu mempertimbangkan semua kemungkinan untuk
menyelesaikan suatu masalah dan mempertanggungjawabkannya berdasarkan suatu
hipotesis atau proporsi. Jadi ia dapat memandang masalahnya dari berbagai sisi
dan menyelesaikannya dengan mengambil banyak faktor sebagai dasar pertimbangan.
Perkembangan moral (moral development) berhubungan
dengan peraturan-peraturan dan nilai-nilai mengenai apa yang harus dilakukan
seseorang dalam interaksinya dengan orang lain. Anak-anak ketika dilahirkan
tidak memiliki moral (imoral). Tetapi dalam dirinya terdapat potensi yang siap
untuk dikembangkan. Karena itu, melalui pengalamannya berinteraksi dengan orang
lain (dengan orang tua, saudara dan teman sebaya), anak belajar memahami
tentang perilaku mana yang baik, yang boleh dikerjakan dan tingkah laku mana
yang buruk, yang tidak boleh dikerjakan.
Teori Psikoanalisis tentang perkembangan moral
menggambarkan perkembangan moral, teori psikoanalisa dengan pembagian struktur
kepribadian manusia menjadi tiga, yaitu id, ego, dan superego. Id adalah
struktur kepribadian yang terdiri atas aspek biologis yang irasional dan tidak
disadari. Ego adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek psikologis,
yaitu subsistem ego yang rasional dan disadari, namun tidak memiliki moralitas.
3.2 Tahap –
tahap Perkembangan Moral Remaja
Menurut Kohlberg (Crain, 1992; Gunarsa, 1990; Miller,
1993; Papilia, Olds Feldman, 1998; Santrock, 1999; Turner dan Helms 1995) ada
beberapa tahap perkembangan moral, diantaranya : preconventional morality,
morality of convemtional role conformity, dan morality of autonomy moral
principles.
1. Tahap
Pra-Konvensional (Pre-Conventional Morality)
Tingkat pra-konvensional dari
penalaran moral umumnya ada pada anak-anak, walaupun orang dewasa juga dapat
menunjukkan penalaran dalam tahap ini. Seseorang yang berada dalam tingkat
pra-konvensional menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya
langsung.
Tingkat pra-konvensional terdiri
dari dua tahapan awal dalam perkembangan moral, dan murni melihat diri dalam
bentuk egosentris. Ketika berada dalam suatu tekanan, maka individu akan
menuruti perintah/peraturan guna menghindari hukuman (punishment) dan
ingin memperoleh suatu hadiah (reward).
·
Pada Fase 1, individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari
tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap
salah secara moral bila orang yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman
diberikan dianggap semakin salah tindakan itu. Sebagai tambahan, ia tidak tahu
bahwa sudut pandang orang lain berbeda dari sudut pandang dirinya.
·
Pada Fase 2, perilaku yang benar didefinisikan dengan apa yang paling
diminatinya. Penalaran tahap dua kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan
orang lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap
kebutuhannya sendiri. Dalam tahap dua perhatian kepada oranglain tidak didasari
oleh loyalitas atau faktor yang berifat intrinsik. Kekurangan perspektif
tentang masyarakat dalam tingkat pra-konvensional, berbeda dengan kontrak
sosial (tahap lima), sebab semua tindakan dilakukan untuk melayani kebutuhan
diri sendiri saja. Bagi mereka dari tahap dua, perpektif dunia dilihat sebagai
sesuatu yang bersifat relatif secara moral.
2.
Tahap Perkembangan Konvensional (Morality of Conventional Role
Conformity)
Individu sebenarnya telah
menginternalisasikan nilai – nilai dari pihak orangtua dan guru. Mereka mulai
memperhatikan sifat – sifat yang baik yang disenangi dan diharapkan oleh orang
lain. Mereka ingin menjadi goodboy atau goodgirl. Agar dikatakan
sebagai anak yang baik, maka individu akan melakukan tindakan – tindakan yang
menyenangkan orang lain.
Tujuannya, agar dirinya mudah
diterima dalam lingkungan sosial masyarakat. Tingkat konvensional umumnya ada
pada seorang remaja atau orang dewasa. Orang di tahapan ini menilai moralitas
dari suatu tindakan dengan membandingkannya dengan pandangan dan harapan
masyarakat. Tingkat konvensional terdiri dari tahap ketiga dan keempat dalam
perkembangan moral.
·
Pada Fase 3, seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial. Individu
mau menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal
tersebut merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang dimilikinya.
Mereka mencoba menjadi seorang anak baik untuk memenuhi harapan tersebut,
karena telah mengetahui ada gunanya melakukan hal tersebut. Penalaran tahap
tiga menilai moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi konsekuensinya
dalam bentuk hubungan interpersonal, yang mulai menyertakan hal seperti rasa
hormat, rasa terimakasih, dan golden rule. Keinginan untuk mematuhi
aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu peran sosial yang stereotip ini.
Maksud dari suatu tindakan memainkan peran yang lebih signifikan dalam
penalaran di fase ini mereka bermaksud baik.
·
Pada Fase 4, penting untuk mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi sosial karena
berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral dalam tahap empat lebih dari sekedar
kebutuhan akan penerimaan individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan
masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan
apa yang benar dan apa yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila seseorang bisa melanggar hukum, mungkin orang
lain juga akan begitu sehingga ada kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum
dan aturan. Bila seseorang melanggar hukum, maka ia salah secara moral,
sehingga celaan menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini karena
memisahkan yang buruk dari yang baik.
3.
Tahap Pasca-Konvensional (Morality of Autonomy Moral Principles)
Orang mulai menyadari adanya konflik
antara standar nilai moralitas dengan pertimbangan prinsip kebenaran,
kejujuran, dan keadilan. Jadi, ia sudah mampu menilai dan mengevaluasi suatu
tindakan/keputusan itu benar atau salah menurut pertimbangan hati nurani. Ia
berani mengambil resiko terhadap keputusan dan tindakannya secara terbuka. Ia
tidak lagi takut terhadap ancaman atau berkeinginan supaya memperoleh pengakuan
sosial dari orang lain.
Ia berpegang pada prinsip – prinsip
kebenaran manusia secara universal. Umumnya mereka yang telah mencapai golongan
dewasa muda atau umur 21 tahun keatas telah mencapai tahap ini, sedangkan
remaja dianggap belum memiliki kemampuan ini, karena belum matang secara penuh
kapasitas intelektualnya.
Tingkatan pasca konvensional, juga
dikenal sebagai tingkat berprinsip, terdiri dari tahap lima dan enam dari
perkembangan moral. Kenyataan bahwa individu-individu adalah entitas yang
terpisah dari masyarakat kini menjadi semakin jelas. Perspektif seseorang harus
dilihat sebelum perspektif masyarakat. Akibat ‘hakekat diri mendahului orang
lain’ ini membuat tingkatan pasca-konvensional sering tertukar dengan perilaku
pra-konvensional.
·
Pada Fase 5, individu-individu dipandang sebagai memiliki pendapat-pendapat dan
nilai-nilai yang berbeda, dan adalah penting bahwa mereka dihormati dan
dihargai tanpa memihak. Permasalahan yang tidak dianggap sebagai relatif
seperti kehidupan dan pilihan jangan sampai ditahan atau dihambat.
Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti benar atau absolute. Sejalan dengan
itu, hukum dilihat sebagai kontrak sosial dan
bukannya keputusan kaku. Aturan-aturan yang tidak mengakibatkan kesejahteraan sosial harus
diubah bila perlu demi terpenuhinya kebaikan terbanyak untuk sebanyak-banyaknya
orang. Hal tersebut diperoleh melalui keputusan mayoritas, dan kompromi. Dalam hal
ini, pemerintahan yang demokratis tampak berlandaskan pada penalaran
tahap lima.
·
Pada Fase 6, penalaran moral berdasar pada penalaran abstrak menggunakan prinsip etika universal. Hukum hanya valid bila berdasar pada keadilan, dan komitmen terhadap keadilan juga menyertakan
keharusan untuk tidak mematuhi hukum yang tidak adil. Hak tidak perlu sebagai
kontrak sosial dan tidak penting untuk tindakan moral deontis. Keputusan
dihasilkan secara kategoris dalam cara yang absolut dan bukannya secara
hipotetis secara. Hal ini bisa dilakukan dengan membayangkan apa yang akan
dilakukan seseorang saat menjadi orang lain, yang juga memikirkan apa yang
dilakukan bila berpikiran sama. Tindakan yang diambil adalah hasil konsensus. Dengan cara ini, tindakan tidak pernah menjadi cara
tapi selalu menjadi hasil; seseorang bertindak karena hal itu benar, dan bukan
karena ada maksud pribadi, sesuai harapan, legal, atau sudah disetujui
sebelumnya. Walau Kohlberg yakin bahwa tahapan ini ada, ia merasa kesulitan
untuk menemukan seseorang yang menggunakannya secara konsisten.
(Gunarsa,
Y.S.D. dan Gunarsa, S.D. 1991)
3.3 Faktor – faktor yang Mempengaruhi Perkembangan
Moral Remaja
Ada beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi perkembangan moral remaja, dimana faktor – faktor tersebut dapat
mengakibatkan dampak negatif bagi perkembangannya bahkan dapat menurunkan moral
dikalangan remaja. Faktor yang bisa mempengaruhi moral remaja juga mempengaruhi
ketika dia menginjak dewasa.
Faktor – faktor yang mempengaruhi perkembangan moral
remaja yaitu sebagai berikut :
1. Kurangnya
perhatian dan pendidikan agama oleh keluarga
2. Pengaruh
lingkungan yang tidak baik
3. Tekanan
psikologi yang dialami remaja
4. Gagal
dalam studi/pendidikan
5. Peranan
media massa
6.
Perkembangan teknologi modern
1.
Kurangnya perhatian dan pendidikan agama oleh keluarga
Orang tua adalah tokoh percontohan oleh anak-anak
termasuk didalam aspek kehidupan sehari-hari tetapi didalam soal keagamaan hal
itu seakan-akan terabaikan. Sehingga akan lahir generasi baru yang bertindak
tidak sesuai ajaran agama dan bersikap materialistik.
2.
Pengaruh lingkungan yang tidak baik
Kebanyakan remaja yang tinggal di kota besar
menjalankan kehidupan yang individualistik dan materialistik. Sehingga kadang
kala didalam mengejar kemewahan tersebut mereka sanggup berbuat apa saja tanpa
menghiraukan hal itu bertentangan dengan agama atau tidak, baik atau buruk.
3.
Tekanan psikologi yang dialami remaja
Beberapa remaja mengalami tekanan psikologi
ketika di rumah diakibarkan adanya perceraian atau pertengkaran orang tua yang
menyebabkan si anak tidak betah di rumah dan menyebabkan dia mencari
pelampiasan.
4.
Gagal dalam studi/pendidikan
Remaja yang gagal dalam pendidikan atau tidak mendapat
pendidikan, mempunyai waktu senggang yang banyak, jika waktu itu tidak
dimanfaatkan sebaik-baiknya, bisa menjadi hal yang buruk ketika dia berkenalan
dengan hal-hal yang tidak baik untuk mengisi kekosongan waktunya.
5.
Peranan Media Massa
Remaja adalah kelompok atau golongan yang mudah dipengaruhi, karena
remaja sedang mencari identitas diri sehingga mereka dengan mudah untuk meniru
atau mencontoh apa yang dia lihat, seperti pada film atau berita yang sifatnya
kekerasan, dan sebagainya.
6.
Perkembangan teknologi modern
Dengan perkembangan teknologi modern saat ini seperti mengakses informasi
dengan cepat, mudah dan tanpa batas juga memudahkan remaja untuk mendapatkan
hiburan yang tidak sesuai dengan mereka.
(Anonim. 2011)
3.4 Dampak Perkembangan Moral yang Dialami Remaja
Dalam perkembangan moralnya, remaja
yang mencapai kematangan moral akan mengalami perubahan pada dirinya sendiri,
dan orang lain pun akan menyadari perubahan tersebut. Dampak dalam perkembangan
moral terutama terjadi karena pengaruh dari lingkungannya sendiri.
Berikut ini adalah dampak dari
perkembangan moral yang dialami oleh remaja :
·
Mempunyai standar moral yang diakui dan diyakini dirinya dan kelompoknya.
·
Merasa bersalah bila menyadari perilakunya tidak sesuai dengan standar moral
yang diyakininya.
·
Merasa malu bila sadar terhadap penilaian buruk kelompoknya.
1.
Mempunyai standar moral yang diakui dan diyakini dirinya dan kelompoknya.
Apabila
seorang remaja telah mencapai kematangan moral pada perkembangannya maka Ia
akan memiliki moral yang sudah dapat kita katakan sejalan dengan pemikiran
orang dewasa, dimana remaja tersebut sudah memiliki standar moral yang
diakui dan diyakini oleh dirinya sendiri, misalnya apabila ada suatu perbuatan
atau perilaku yang tidak baik dilakukan oleh orang lain Ia sudah dapat
memutuskannya sendiri bahwa apa yang terjadi tersebut sudah tidak sesuai dengan
apa yang seharusnya dan tidak baik dilakukan.
2.
Merasa bersalah bila menyadari perilakunya tidak sesuai dengan standar moral
yang diyakininya.
Jika seorang
remaja berpendapat bahwa yang Ia lakukan salah dan tidak baik untuk dilakukan
dan Ia merasa bersalah atas perbuatannya, itu merupakan suatu bukti bahwa
remaja tersebut telah mencapai kematangan moral, karena Ia sudah dapat dan
mampu untuk berpikir lebih atas segala tindakan dan perbuatan yang dilakukannya
sendiri.
3.
Merasa malu bila sadar terhadap penilaian buruk kelompoknya.
Seorang
remaja akan memiliki rasa malu apabila Ia sadar terhadap penilain buruk yang
diberikan oleh orang yang disekitarnya, ini juga merupakan dampak dari
perkembangan moral remaja yang terjadi, jika orang – orang yang berada
disekitarnya menyadarkan dirinya akan perbuatan atau tindakan yang seharusnya
tidak Ia lakukan karena perbuatan tersebut tidak baik maka Ia akan merasa malu
dan bersalah atas tindakan yang dilakukannya.
(Haricahyono, C. 1989)
3.5
Perkembangan Keagamaan pada Remaja
Latar belakang kehidupan keagamaan remaja dan ajaran
agamanya berkenaan dengan hakekat dan nasib manusia, memainkan peranan penting
dalam menentukan konsepsinya tentang apa dan siapa dia, dan akan menjadi apa
dia. Agama, seperti yang kita temukan dalam kehidupan sehari-hari, terdiri atas
suatu sistem tentang keyakinan-keyakinan, sikap-sikap danpraktek-praktek yang
kita anut, pada umumnya berpusat sekitar pemujaan.
Dari sudut pandangan individu yang beragama, agama
adalah sesuatu yang menjadi urusan terakhir baginya. Artinya bagi kebanyakan
orang, agama merupakan jawaban terhadap kehausannya akan kepastian, jaminan,
dan keyakinan tempat mereka melekatkan dirinya dan untuk menopang
harapan-harapannya. Dari sudut pandangan social, seseorang berusaha melalui
agamanya untuk memasuki hubungan-hubungan bermakna dengan orang lain, mencapai
komitmen yang ia pegang bersama dengan orang lain dalam ketaatan yang umum
terhadapnya.
Bagi kebanyakan orang, agama merupakan dasar terhadap
falsafah hidupnya. Penemuan lain menunjukkan, bahwa sekalipun pada masa remaja
banyak mempertanyakan kepercayaan-kepercayaan keagamaan mereka, namun pada
akhirnya kembali lagi kepada kepercayaan tersebut. Banyak orang yang pada usia
dua puluhan dan awal tiga puluhan, tatkala mereka sudah menjadi orang tua,
kembali melakukan praktek-praktek yang sebelumnya mereka abaikan.
Bagi remaja, agama memiliki arti yang sama pentingnya
dengan moral. Bahkan, sebagaiman dijelaskan oleh Adams & Gullotta (1983),
agama memberikan sebuah kerangka moral, sehingga membuat seseorang mampu
membandingkan tingkah lakunya. Agama dapat menstabilkan tingkah laku dan bias
memberikan penjelasan mengapa dan untuk apa seseorang berada didunia ini.
Agama memberikan perlindungan rasa aman,
terutama bagi remaja yang tengah mencari eksistensi dirinya. Dibandingkan
dengan masa awal anak-anak misalnya, keyakinan agama remaja telah mengalami
perkembangan yang cukup berarti. Kalau pada masa awal anak-anak ketika mereka
baru memiliki kemampuan berpikir simbolik.
Tuhan dibayangkan sebagai person yang berada diawan,
maka pada masa remaja mereka mungkin berusaha mencari sebuah konsep yang lebih
mendalam tentang Tuhan dan eksistensi. Perkembangan pemahaman remaja terhadap
keyakinan agama dipengaruhi oleh perkembangan kognitifnya. Oleh karena itu
meskipun pada masa awal anak-anak ia telah diajarkan agama oleh orang tua
mereka, namun karena pada masa remaja mereka mengalami kemajuann dalam perkembangan
kognitif, mereka mempertanyakan tentang kebenaran keyakinan agama mereka
sendiri.
Para ahli umumnya (Zakiah Daradjat, Starbuch, William
James) sependapat bahwa pada garis besarnya perkembangan penghayatan keagamaan
itu dapat di bagi dalam tiga tahapan yang secara kulitatif menunjukkan
karakteristik yang berbeda. Adapun penghayatan keagamaan remaja adalah sebagai
berikut:
1.
Masa awal remaja (12-18 tahun) dapat dibagi ke dalam dua sub tahapan sebagai
berikut:
a. Sikap negative
(meskipun tidak selalu terang-terangan) disebabkan alam pikirannya yang kritis
melihat kenyataan orang-orang beragama secara hipocrit (pura-pura) yang
pengakuan dan ucapannya tidak selalu selaras dengan perbuatannya.
b. Pandangan dalam hal
ke-Tuhanannya menjadi kacau karena ia banyak membaca atau mendengar berbagai
konsep dan pemikiran atau aliran paham banyak yang tidak cocok atau
bertentangan satu sama lain.
c. Penghayatan
rohaniahnya cenderung skeptic (diliputi kewas-wasan) sehingga banyak yang
enggan melakukan berbagai kegiatan ritual yang selama ini dilakukannya dengan
kepatuhan.
2.
Masa remaja akhir yang ditandai antara lain oleh hal-hal berikut ini:
a. Sikap kembali,
pada umumnya, kearah positif dengan tercapainya kedewasaan intelektual, bahkan
agama dapat menjadi pegangan hidupnya menjelanh dewasa.
b. Pandangan dalam hal
ke-Tuhanan dipahamkannya dalam konteks agama yang dianut dan dipilihnya.
c. Penghayatan
rohaniahnya kembali tenanh setelah melalui proses identifikasi dan merindu puja
ia dapat membedakan antara agama sebagai doktrin atau ajaran dan manusia
penganutnya, yang baik (shalih) dari yang tidak. Ia juga memahami bahwa
terdapat berbagai aliran paham dan jenis keagamaan yang penuh toleransi
seyogyanya diterima sebagai kenyataan yang hidup didunia ini.
(Monks, F.J. dan Knoers, A.M.P.
1992)
BAB IV
KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan
Seseorang dapat dikatakan bermoral,
apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang
dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya. Sehingga tugas penting yang harus
dikuasai remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompoknya.
Ada tiga tugas pokok remaja dalam mencapai moralitas
remaja dewasa, yaitu:
1. Mengganti
konsep moral khusus dengan konsep moral umum.
2. Merumuskan
konsep moral yang baru dikembangkan ke dalam kode moral sebagai kode prilaku.
3. elakukan
pengendalian terhadap perilaku sendiri.
Tahap –
tahap perkembangan moral remaja terbagi tiga yaitu :
1. Tingkat
Pra Konvensional :
v Fase 1 : Orientasi hukuman dan kepatuhan
v Fase 2 : Orientasi Minat pribadi
2. Tingkat
Konvensional
v Fase 3 : Orientasi keserasianinterpersonal dankonformitas
v Fase 4 : Orientasi hukuman dan aturan
3. Tingkat
Pasca-Konvensional
v Fase 5 : Orientasi kontrak sosial
v Fase 6 : Orientasi Etika Universal
Faktor –
faktor yang mempengaruhi perkembangan moral remaja yaitu sebagai berikut :
· Kurangnya perhatian dan pendidikan agama oleh
keluarga
· Pengaruh lingkungan yang tidak baik
· Tekanan psikologi yang dialami remaja
· Gagal dalam studi/pendidikan
· Peranan media massa
· Perkembangan teknologi modern
Agama memberikan perlindungan rasa aman, terutama bagi
remaja yang tengah mencari eksistensi dirinya. Dibandingkan dengan masa awal
anak-anak misalnya, keyakinan agama remaja telah mengalami perkembangan yang
cukup berarti. Kalau pada masa awal anak-anak ketika mereka baru memiliki
kemampuan berpikir simbolik.
4.2 Saran
Untuk dapat mempermudah pemahaman pembaca terhadap
materi perkembangan moral dan agama pada remaja ini, pembaca dapat mencari
beberapa informasi lain mengenai perkembangan peserta didik dari beberapa
sumber kemudian dapat dibandingkan dengan makalah ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar