PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA, ASAS ETIKA
POLITIK DAN ACUAN KRITIK IDEOLOGI
M. Sastrapratedja*
1. Pengantar 
Sebagian besar dari kehidupan
kita, termasuk kehidupan berbangsa dan bernegara, atau kehidupan politik, kita
lewatkan atas dasar “common sense” atau yang kerapkali disebut sebagai “akal
sehat”. “Common sense” adalah pengetahuan sehari-hari, yang tidak kita
pertanyakan  kebenarannya, tetapi kita
andaikan “benar”, taken for granted. Tetapi salah satu ciri khas manusia adalah “mempertanyakan”. Ia
tidak puas dengan “common sense”, ia terdorong untuk mengangkat apa yang
dialami menjadi pertanyaan. Begitu kita mengajukan “pertanyaan”,
“interrogating” kita mengatasi “common sense”. 
Mempertanyakan, interrogating adalah awal dari
perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat. Ilmu
pengetahuan mempertanyakan  segala
sesuatu termasuk manusia sampai batas tertentu atau dalam perspektif tertentu,
yaitu perspektif instrumental. Ilmu pemgetahuan mempertanyakan dan mencari
jawaban atas pertanyaannya untuk digunakan bagi kepentingan manusia.
Filsafat mempertanyakan 
segala sesuatu, khususnya yang menyangkut  “nasib” diri manusia, lebih jauh dari ilmu
pengetahuan. Mempertanyakan siapakah  dan
apakah aku ini adalah awal dari filsafat manusia, dimana manusia ingin
memperoleh makna dari dirinya. “Pahamilah dirimu” demikian kata Sokrates. Mempertanyakan
manusia berarti mencari jalan bagaimana manusia mencapai tujuan hidupnya, yaitu
semakin menjadi manusiawi. Dalam
pengertian ini bila filsafat harus mati, kemanusian akan meredup tak lama
kemudian. Berhenti bertanya hanya akan berakibat kemandekan dan berhentinya
perkembangan.  Dalam kaitan ini  filsafat tidak hanya merupakan “disiplin
(ilmu) yang mempertanyakan”, tetapi juga ‘disiplin (ilmu) yang membebaskan”.
Dalam arti apa? Manakala kita mengangkat pertanyaan, kita dibebaskan dari
jawaban yang tidak dipertanyakan, yaitu jawaban berdasarkan
“common sense” semata, yang diandaikan benar. Dalam setiap pertanyaan kita
mengatakan “tunggu sebenar”: ada yang lebih dari ini atau itu. Bahkan ada
“ekses” dari realitas, yang tidak tertampung dari suatu konsep yang sekarang
kita miliki, “ada yang lebih” yang terbelenggu oleh berbagai struktur yang
melilit kita.
2. Tiga Fungsi Filsafat
Ada begitu banyak  pengertian mengenai filsafat dan cara
berfilsafat serta corak filsafat. Di depan sudah dikatakan bahwa filsafat itu
berkembang dengan “mempertanyakan”, “interrogating”. Dalam kaitan dengan
Pancasila, ada  sedikitnya tiga fungsi
filsafat, yang saling terkait satu dengan lainnya.
1) Pertama filsafat mempertanyakan dan mencari
“dasar”. Sejak awal filsafat Yunani telah dipertanyakan apakah “dasar” dari
dunia kita, apakah “dasar” dari perubahan, apakah “dasar” dari persamaan dan
perbedaan manusia, apakah “dasar” dari kebebasan manusia, apakah “dasar” dari
kehidupan suatu “polis”?
2) Kedua, filsafat mempertanyakan, mencari dan menemukan makna dari
realitas di sekelilingnya,  asal dan
tujuan hidup manusia.  Seringkali 
dikatakan bahwa filsafat mempertanyakan nilai dari suatu realitas dan
tindakan manusia. Maka filsafat dapat mencerahi kehidupan manusia.
3) Ketiga, filsafat berfungsi pula sebagai
kritik ideologi. Filsafat berusaha untuk membuka selubung dari berbagai
sistem pemikiran, yang membelenggu manusia, terutama kebebasannya.  Pengetehuan dan
kekuasaan saling berpautan. Marx telah memberi contoh bagaimana melakukan suatu
kritik ideologi terhadap ideologi kapitalis.
Dari uraian di atas, Filsafat Pancasila dapat dilihat pertama, sebagai eksplisitasi secara
filosofis  Pancasila sebagai dasar
Negara; kedua, filsafat Pancasila
sebagai etika politik; ketiga,
filsafat Pancasila sebagai kritik ideologi, termasuk kritik terhadap distorsi
dan penyalahgunaan Pancasila secara ideologis.
3. Pancasila sebagai Dasar
Negara       
Fungsi filsafat yang pertama
adalah mempertanyakan dan menjawab 
“apakah dasar dari kehidupan berpolitik atau kehidupan berbangsa dan
bernegara.  Sangat lah tepat pertanyaan
yang diajukan oleh  Ketua BPUPKI, Dr.
Radjiman Wediodiningrat di hadapan rapat BPUPKI bahwa “Negara Indonesia yang
akan kita bentuk itu apa dasarnya”? Soekarno
menafsirkan pertanyaan itu sebagai berikut: “Menurut anggapan saya, yang
diminta oleh Paduka tuan Ketua yang mulia ialah dalam bahasa Belanda:
‘philosophische grondlsag’  dari pada
Indonesia Merdeka. Philosophische
grondslag itulah fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa,
hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia
Merdeka.”1) “Dasar Negara” dapat disebut pula “ ideologi negara”, seperti
dikatakan oleh Mohammad Hatta: “Pembukaan 
UUD, karena memuatnya di dalamnya Pancasila sebagai ideologi Negara,
beserta dua pernyataan lainnya  yang
menjadi bimbingan pula bagi politik negeri seterusnya, dianggap sendi daripada
hukum tatanegara Indonesia. Undang-undang ialah pelaksanaan daripada pokok itu
dengan Pancasila sebagai penyuluhnya, adalah dasar mengatur politik Negara dan
perundang-undangan Negara, supaya terdapat Indonesia  merdeka seperti dicita-citakan: merdeka,
bersatu, berdaulat, adil dan makmur”2)
Kalau seringkali dikatakan mengenai ideologi Pancasila,
sebetulnya yang dimaksudkan tidak lain adalah Pancasila sebagai dasar Negara,
sebagaimana dikatakan Bung Hatta, “ideologi Negara”., yaitu prinsip-prinsip
atau asas membangun Negara. Jadi Pancasila bukanlah suatu “doktrin” yang
lengkap, yang begitu saja dapat dijabarkan 
dalam tindakan, tetapi suatu orientasi, yang memberikan arah kemana
bangsa dan negara harus dibangun atau 
suatu dasar rasional, yang merupakan hasil  konsensus mengenai asumsi-asumsi tentang
Negara dan bangsa yang akan dibangun.
Karena masing-masing sila dari
Pancasila akan diuraikan dalam rangkaian diskusi dalam Kongres ini, maka kami
hanya akan memberikan catatan kecil saja:
1)     
Sila
“Keruhanan Yang Maha Esa” dirumuskan dalam konteks politik: membangun Negara
dan bangsa Indonesia, maka merupakan suatu prinsip politik, bukan suatu prinsip
teologis. Implikasinya 
ialah bahwa Negara mengakui dan melindungi kemajemukan agama di Indonesia;
Negara tidak menilai “isi” dari suatu agama. Penganut agama apapun wajib
bersatu untuk membangun Negara dan bangsa. Hal ini sangat jelas dari ajakan
Soekarno dalam pidato “Lahirnya Pancasila” untuk bersama-sama membangun Negara
dan bangsa Indonesia
2)     
Sila “Perikemanusiaan  yang adil dan beradab”mengimplikasikan  bahwa Negara memperlakukan setiap warganegara
atas dasar pengakuan martabat manusia dan nilai kemanusiaan yang mengalir dari
martabatnya itu.Jelaslah bahwa sila kedua ini menolak kekerasan yang dilakukan
terhadap warganegara baik oleh Negara, kelompok atau individu. Kekerasan yang
paling keji adalah kekerasan yang dilakukan terhadap inti martabat manusia
sendiri, yaitu kebebasannya.”Hewan mencari mangsanya. Mangsa Manusia adalah kebebasan”.3). Kekerasan
pada jaman sekarang kerapkali dikaitkan dengan identitas, religius atau etnik,
yang lebih banyak diproduksi daripada direproduksi
3)     
Sila “Persatuan Indonesia”
terkait dengan faham kebangsaan. Bangsa bukan sesuatu yang diwariskan dari masa
lalu, tetapi suatu “proyek dan tantangan bersama” bagi masa kini dan masa
depan.4). Oleh karena itu harus melibatkan semua dan tak seorangpun warga yang
dieksklusifkan.
4)     
Prinsip demokrasi yang
dirumuskan sebagai “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaran/perwakilan”,  menunjuk
kepada pembatasan kekuasaan Negara dengan partisipasi  rakyat dalam pengambilan keputusan. “Kita dapat berbicara mengenai sistem
demokratik, apabila unsur-unsur konstitusi, hukum dan sistem parelemen
menerapkan tiga prinsip: pembatasan kekuasaan Negara atas nama hak asasi,
keterwakilan pelaku politik dan kewarganegaraan.”5) 
5)     
Sila “keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia”
paling sedikit memuat unsur-unsur: pemerataan, persamaan dan kebebasan untuk
menentukan dirinya sendiri.
4. Pancasila sebagai dasar
etika politik 
Dengan dipilihnya Pancasila
sebagai dasar hidup bernegara dan berbangsa atau sebagai dasar hidup
berpolitik, maka politik tidaklah netral, tetapi harus dilandasi nilai-nilai
etis. Itulah salah satu tugas filsafat politik: mencerahi
makna berpolitik dan mengekplisitkan nilai-nilai etis dalam politik yang
didasarkan atas Pencasila.
Ada anggapan negatif dan sikap
skeptik  serta sinis terhadap politik.
Ada kecenderungan untuk menghindar dari politik. Namun perlu dicattat beberapa
hal: pertama, mau tidak mau kita
tidak dapat lepas dari politik. Segala kegiatan kita mengandaikan kerangka
Negara dan masyarakat. Kedua,
berbagai kesulitan yang dihadapi dunia modern, seperti peningkatan
kesejahteraan, lingkungan hidup, kesenjangan sosial-ekonomi, pendidikan,
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat dipecahkan dengan
meninggalkan politik, tetapi mengadakan transformasi politik sedemikian rupa,
sehingga memungkin kita membentuk dan mengorganisir kehidupan  secara efektif. Ketiga, sikap sinis dan skeptik terhadap politik, bukan hal yang
tak terhindari. Dengan membangun kredibilitas dan kelayakan  suatu model alternatif dan imaginatif
institusi politik, ketidakpercayaan akan pilitik bisa diatasi.6)
David Held mengartikan politik
sebagai berikut: “Politik adalah mengenai kekuasaan, yaitu mengenai kapasitas
pelaku sosial dan institusi sosial untuk mempertahankan  atau mentransformir lingkungannya, sosial dan
fisik. Politik menyangkut sumber-sumber yang mendasari kapasitas ini dan
mengenai kekuatan-kekuatan yang membentuk dan mempengaruhi operasi dari
kekuatan itu. Oleh karena itu, politik 
adalah suatu fenomena yang diketemukan di dalam dan di antara institusi
dan masyarakat, melintasi kehidupan publik dan privat. Politik terungkap di
dalam  semua aktivitas kerjasama,
negosiasi dan perjuangan dalam penggunaan dan distribusi sumberdaya. Politik
terlibat dalam semua relasi, institusi dan struktur yang melekat dalam
aktivitas produksi dan reproduksi dalam kehidupan masyarakat. Politik
menciptakan dan mengkondisikan semua aspek kehidupan kita. Politik berada pada
inti perkembangan permasalahan dalam masyarakat dan cara kolektif penyelesaian
masalah tersebut.”7)
Bagi Aristoteles manusia akan
menjadi sempurna dan mencapai tujuan kodratinya, kalau ia hidup dalam polis
(negara-kota). Suatu Negara ada, demi hidup baik dan bukan hanya untuk hidup saja.
Seperti dikatakan H. Arend, “Polis sebenarnya bukanlah Negara-kota (city-state) dalam lokasi fiknya; polis
adalah organisasi masyarakat yang muncul dari perbuatan dan  pembicaraan bersama  dan ruang yang sebenarnya terletak di antara
orang yang hidup bersama untuk tujuan itu, tak peduli dimanapun terjadi.”8)
Maka istilah politik menunjuk kepada 
aktivitas dari polis, dimana kesejahteraan bersama dideliberasikan  dan keputusan 
yang secara kolektif mengikat dibuat. Jadi  politik muncul dari  tindakan bersama, “sharing of words and
deeds”.  Ada hal-hal yang dapat kita
petik dari kehidupan politik pada jaman Yunani itu, meskipun harus diakui bahwa
ada contoh yang jelek yang terjadi pada waktu itu, misalnya wanita dan budak
tidak termasuk dalam warganegara.  Ada anggapan pada waktu
itu bahwa mereka yang berhasil dalam kehidupan politik, yaitu hal-ihwal
kehidupan dalam Negara, akan mencapai kebaikan tertinggi. Kehidupan 
bersama dalam Negara (polis)
akan mencapai kebaikan yang lebih besar, karena dilakukan bersama. Maka
kehidupan bersama dalam Negara  tidak
hanya akan melindungi individu dan hak miliknya (sebagaimana jaman sekarang
dituntut oleh liberalisme), tetapi harus menciptakan keunggulan manusiawi (arête). Kodrat manusia mendorong, agar
Negara berperan dalam mengembangkan potensi manusia, mengajarkan kita untuk
mencintai yang baik dan membuat warganegara menjadi lebih baik dengan
menciptakan kebiasaan yang baik (inilah arti utama dari “pendidikan politik”).
Maka dapat dikatakan bahwa bagi Aristoteles, Negara atau polis  adalah “perkumpulan teman-teman yang saling
memprovokasi untuk berbuat kebajikan. Politik adalah suatu aktivitas etis,
yaitu bersangkut paut dengan masalah bagaimana kita harus hidup dalam suatu
masyarakat politik.
Michel Foucault mengatakan
bahwa politik pada masa ini ditandai oleh “pendisiplinan” dan “penundukan”
yaitu pemaksaan agar manusia berperilaku tertentu. Ini disebut “biopower”.
Politik adalah pengaturan dan penguasaan hidup dan biopower ini secara
fundamental modern, yaitu manakala kehidupan manusia dipertaruhkan oleh
strategi politiknya sendiri. Dengan lain perkataan, kehidupan manusia menjadi objek politik itu sendiri.
Ini yang menjadi ciri dari politik modern, berbeda dari politik di masa lalu.
Berbeda dari Foucault, Giorgio
Agamben dalam Homo Sacer: Sovereign Power
and Bare Life,9) berpendapat bahwa tidak benar kehidupan manusia selalu
menjadi objek dari politik. Ia mengingatkan bahwa dalam Buku Pertama Politics (1.2.8) Aristoteles membedakan
antara “kehidupan yang begitu saja” atau “kehidupan biologis semata”(bare life, nuda vita, kehidupan telanjang, kehidupan biologis, to zen) dan “hidup yang baik” (eu zen). Kehidupan politik mengatasi
kehidupan  “yang biologis melulu” menjadi
“sesuatu yang lebih”, yaitu lebih manusiawi. Yang menjadi ciri politik
adalah  perwujudan  kemampuan manusia untuk menstrukturkan suatu
kehidupan bersama dalam komunitas yang tidak memaksa, yang mampu melakukan
refleksi deliberatif atas pertanyaan apakah keadilan itu dan sarana konkrit apa
untuk mencapainya?  “Keadilan  melekat dalam polis; karena keadilan, yang
adalah penentuan apa yang adil, adalah pengaturan persekutuan politik” (Politics 1.2.66). Agamben  menarik perhatian kita pada apa yang
dikatakan oleh Aristoteles mengenai bahasa dalam Politics 1.2.16: Agar menjadi 
benar-benar manusiawi orang harus menjadi anggota polis, karena hanya
dengan begitu, ia dapat berbicara. “Mengeluarkan suara  berfungsi untuk menunjukkan  kesenangan atau kesakitan, dan ini suatu
kemampuan yang  dimiliki hewan pada
umumnya….. Tetapi bahasa berfungsi untuk…..menyatakan apa yang adil dan tidak
adil”. Disini kehidupan di lihat tidak hanya sebagai suatu fakta, tetapi suatu
capaian. Capaian itu adalah kebudayaan. Agamben menyebut kehidupan biologis
semata sebagai “inklusif eksklusif (un ‘
esclusione inclusive). Maksud dari pernyataan itu ialah bahwa  kehidupan yang baik (eu zen) bukan kehidupan biologis semata, namun kehidupan yang baik
juga  merupakan  perkembangan dari kehidupan biologis semata.
Politik seolah-olah merupakan tempat dimana kehidupan harus mengalami
transformasi menjadi kehidupan yang baik. Tetapi ini bukan suatu capaian dari Aufhebung dari kehidupan biologis
semata. Aufhebung politik tidak
pernah tercapai, identitas tak pernah selesai’ 
Dengan ditetapkannya Pancasila
sebagai dasar negara, kehidupan politik 
memiliki dimensi etis, bukan sesuatu yang netral. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila mendorong warganegara
untuk berperilaku etis dalam politik.
                Apabila nilai-nilai Pancasila itu
dapat ditransformasikan ke dalam ethos masyarakat, maka  akan menjadi 
pandangan hidup atau Weltanschauung.
Pandangan hidup dapat 
dilihat sebagai suatu cultural
software, suatu perangkat lunak
budaya. Pandangan hidup adalah suatu cara memahami dunia dan kehidupan
sosial, suatu kosmologi masyarakat. Sebagai perangkat lunak budaya 
pandangan hidup berperan dalam mengkonstruksikan  dunia sosial dan politik. Tetapi pandangan
hidup itu selalu berada dalam kontestasi dan negosiasi dengan pandangan hidup
lainnya. Cultural software dikopi
dalam setiap individu melalui sosialisasi, interaksi dan komunikasi. Fungsi cultural software mirip dengan apa yang
disebut Gadamer “tradisi”: tradisi melengkapi kita dengan pra-pemahaman yang
memungkinkan kita membuat penilaian mengenai dunia sosial  Sejauh masyarakat memiliki kopi yang kurang
lebih sama, maka pemahaman budaya mereka adalah pemahaman budaya bersama.10).
5. Pancasila Sebagai Acuan
Kritik Ideologi
Agnes Heller membedakan “yang
politik” dengan “politik” (politics).
Istilah “yang politik” menunjukkan domain, atau lingkup dimana deliberasi
terjadi,  Sedangkan  istilah “politik” (politics), merujuk kepada aktivitas yang terjadi dalam lingkup
itu.11) Ini mempunyai implikasi pada masalah sejauh mana ‘ruang lingkup
politik” (Apakah batas  kekuasaan
politik?, Siapa memiliki hak untuk melaksanakan kekuasaan politik itu? Isu-isu
apa yang relevan bagi politik  Kalau
dalam masa Yunani kuno “yang sosial” dan “yang politik” terjadi tumpang tindih,
sementara  dalam modernitas  hal itu tidak terjadi.
Para “founding fathers” sejak
awal telah melakukan suatu “kritik ideologi”, meskipun pada jaman itu model
alternatif terhadap ideologi-ideologi besar (liberalisme dan sosialisme)
masih  terbatas. Ada
dua tradisi mengenai konsepsi mengenai 
“yang sosial” dan “yang politik” dan interaksi antara keduanya. Politik 
di dalam demokrasi liberal kapitalis didasarkan pada premis konsepsi
mengenai individu sebagai unit utama moral dan politik. Karenanya  hak dan kebebasan didefinisikan lebih dalam
kerangka individual. Hak-hak ini  memberikan
prioritas kepada kepentingan pribadi individual di atas kepentingan umum.
Asumsinya ialah bahwa  individu dengan
usahanya sendiri dapat memenuhi kebutuhannya tanpa terlalu banyak intervensi dari
Negara. Namun dengan berkembangnya demokrasi dan kewarganegaraan, model liberal
dianggap tidak memadai. Kritik terhadap ideologi demikian pada abad ke 19
dilontarkan oleh Marx, yang menyatakan bahwa kewarganegaraan modern lebih
menguntungkan individu dari kelas borjuis. Pada abad ke 20 negara-negara modern
telah menyesuaikan diri dengan kritik ini dengan memperluas “hak-hak sosial”
pada  kesehatan, kesejahteraan dan
jaminan sosial. Namun Negara haruslah berintervensi dalam ekonomi dan
masyarakat, lebih dari masa sebelumnya .12} Dengan demikian  “yang politik” lebih masuk ke dalam “yang
sosial. Inilah salah satu makna “akhir dari ideologi”, seperti dikemukakan oleh
Daniel Bell. Tak ada lagi ideologi yang murni, 
melalu “liberal” atau  melulu
“sosialis”. Pancasila dan UUD 1945  mencari
keseimbangan dan perpaduan antara keduanya. 
Dinamika Pancasila terletak
dalam ketegangan antara “ideologi” dan “utopia”. Pancasila sebagai ideologi
memberi arah pembangunan sistem sosial dan politik. Sistem yang dibangun tidak
pernah merupakan perwujudan utuh dari Pancasila, maka selalu bisa dikritik.
Bisa terjadi juga Pancasila Pancasila sebagai “ideologi” membenarkan dan
meneguhkan sistem yang dibangun untuk kepentingan kelompok tertentu, sehingga
menjadi mandeg. Maka atas dasar Pancasila itu pula dapat dilakukan kritik.
Mungkin dapat dikatakan dari perspektif ini Pancasila merupakan “utopia”.
Utopia dapat bersifat “subversif”, menggoncangkan sistem-sistem yang dibangun
berdasarkan orientasi ideologi. Utopia dapat menciptakan kreatifitas dengan
imaginasi sosialnya. 1)
Sebagai kesimpulan, Pancasila dapat dikembangkan
menjadi filsafat dalam tiga arah:
1)         
Sebagai
“Filsafat Pancasila”, yang merupakan refleksi kritis atas dasar  hidup bernegara.
2)         
Sebagai
“Etika Politik” yang merupakan refleksi kritis atas nilai-nilai etis yang
terkandung dalam Pancasila.
3)         
Sebagai
“Kritik Ideologi” yang merupakan refleksi kritis dalam mengevaluasi berbagai
ideologi lainny
Catatan
- Soekarno, “Lahirnja Pantja Sila” dalam: Tjamkan Pantja Sila. Departemen Penerangan R.I, 1964.
- Mohammad Hatta, Pengertian Pancasila. Jakarta: Idayu Press, 1977, h. 1, sebagaimana dikutip oleh Todung Mulya Lubis “Pancasila, Globalisasi, dan Hak Asasi Manusia, “dalam: Restorasi Pancasila. Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas. Penyunting, Irfan Nasution dan Ronny Agustinus, Jakarta: Perhimpunan Pendidikan Demokrasi, 2006, h. 332..
- J.-M. Domenach, “The Ubiquity of Violence,” International Social Science Journal, 30 (1978), h.719..
- B. R. O’G.,Anderson, “ Indonesian Nationalism Today and in the Future,” Indonesia 67 (April 1999).
- Alain Touraine, What is Democracy” Boulder, Colorado: Westview Press, 1997, h. 72.
- David Held, Models of Democracy. Cambridge: Polity Press, 1998, h. 295-297.
- David Held, Ibid., 30
- H. Arend, The Human Condition. Chicago and London: The University of Chicago Press, 1998, h. 198.
- Giorgio Agamben, Homo Sacer: Sovereign Power and Bare Life. Standford: Standford University Press,1998. Uraian mengenai pandangan Agamben, kami ambil dari: Andrew Norris, “Giorgio Agamben and the Politics of the Living Dead”, Diacritics, Vol.30, No. 4 (winter, 2000), h. 38-39
- Lihat mengenai ini: J.M.Balkin, Cultural Software. A Theory of Ideology. New Haven & London: Yale University, 1998.
- James Martin, “The Social and the Political”, dalam: Fidelma Ashe, et alii, Contemporary Social & Political Theory. Buckingham, Philadelphia: Open University Press, 1999, h.156
- James Martin, op.cit., h.161-162.
- Lihat Fred Dallmayr, Dialogue Among Civilization. Some Exemplary Voices. New York: Palgrave Macmillan, 106-118.
3.2 Pancasila Sebagai Sistem Filsafat 
Pancasila bagi masyarakat Indonesia
bukanlah sesuatu yang asing. 
Pancasila terdiri dari lima sila
yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 
alinea ke-4 dan diperuntukkan
sebagai dasar negara Indonesia. Namun, saat 
ini terutama di era reformasi dan
globalisasi membicarakan Pancasila dianggap 
sebagai keinginan untuk kembali orde
baru. Oleh karena itu, kajian Pancasila 
pada bab ini berpijak dari kedudukan
Pancasila sebagai filosofi bangsa, dasar, 
dan ideologi nasional. 
Bangsa Indonesia sebelum mendirikan
negara Indonesia sudah memiliki 
nilai-nilai luhur yang diyakini
sebagai suatu pandangan hidup, jiwa, dan 
kepribadian dalam pergaulan.
Nilai-nilai luhur yang dimiliki masyarakat 
Indonesia terdapat dalam adat
istiadat, budaya, agama, kepercayaan terhadap 
adanya Tuhan. Nilai-nilai luhur itu
kemudian menjadi tolok ukur kebaikan yang 
berkenaan dengan hal-hal yang
bersifat mendasar dan abadi, seperti cita-cita 
yang ingin diwujudkannya dalam hidup
manusia. 
Pandangan hidup yang terdiri atas
kesatuan rangkaian nilai-nilai luhur itu 
merupakan suatu wawasan yang
menyeluruh terhadap kehidupan itu sendiri. 
Pandangan hidup atauweltanschauung berfungsi sebagai kerangka acuan, 
baik untuk menata kehidupan pribadi
maupun dalam interaksi manusia dengan 
komunitas dan alam sekitarnya.
Ketika cita-cita menjadi bangsa yang bersatu 
sudah sangat bulat untuk hidup
bersama atauliving
together dalam suatu 
negara merdeka, para pendiri negara
Indonesia merdeka sampai pada suatu 
pertanyaan yang mendasardi atas apakah negara Indonesia
merdeka ini 
didirikan?. Pertanyaan ini muncul untuk
menjawab kenyataan bahwa bangsa
Indonesia yang menegara tidak
mungkin memiliki pandangan hidup atau 
falsafah hidup yang sa ma dengan
bangsa lain, karena nilai-nilai luhur yang 
dimiliki tiap bangsa berbeda. 
Untuk mengetahui secara mendalam
tentang Pancasila diperlukan 
pendekatan filosofis. Pancasila
dalam pendekatan filsafat adalah ilmu 
pengetahuan yang mendalam mengenai
Pancasila. Filsafat Pancasila secara 
ringkas dapat didefinisikan sebagai
refleksi kritis dan rasional tentang Pancasila 
dalam bangunan bangsa dan negara
Inndonesia (Syarbaini, 2003). 





Selanjutnya, Pancasila dalam
pendekatan filsafat akan dibahas menjadi 
dua bagian, berikut ini. 
1) Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. 
Berdasarkan pemikiran filsafat
Pancasila pada dasarnya merupakan suatu 
nilai. Nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila, yaitu nilai ketuhanan, nilai 
kemanusiaan, nilai persatuan, nilai
kerakyatan, dan nilai keadilan. Nilai 
berasal dari bahasa Inggrisvalue dan bahasa Latinvalere artinya kuat, baik, 
dan berharga. Jadi, nilai adalah
suatu penghargaan atau kualitas terhadap 
suatu hal yang dapat menjadi dasar
penentu tingkah laku manusia. Ciri-ciri 
nilai adalah suatu yang abstrak
bersifat normatif sebagai motivator/daya 
dorong manusia dalam bertindak. 
2) Perwujudan nilai Pancasila sebagai norma bernegara. 
Ada hubungan antara nilai dengan
norma. Norma atau kaidah adalah aturan 
atau pedoman bagi manusia dalam
berperilaku sebagai perwujudan dari 
nilai. Nilai yang abstrak dan
normatif dijabarkan dalam wujud norma. 
Nilai-nilai luhur yang diyakini
sebagai suatu pandangan hidup yang 
berkembang dalam masyarakat
Indonesia sebelum menegara itulah yang 
kemudian oleh para pendiri negara
digali kembali, ditemukan, dirumuskan, dan 
selanjutnya disepakati dalam rapat
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan 
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
sebagai dasar filsafat negara atau 
filosofische grondslagdari negara yang akan didirikan.
Nilai-nilai luhur yang
diyakini sebagai suatu pandangan
hidup masyarakat Indonesia itu terdiri atas 
keimanan dan ketaqwaan, nilai
keadilan dan keberadaban, nilai persatuan dan 
kesatuan, nilai mufakat, dan nilai
kesejahteraan. Nilai-nilai luhur tersebut 
kemudian disepakati oleh para
pendiri negara sebagai dasar filsafat negara 
Indonesia merdeka, yang oleh Ir.
Soekarno diusulkan bernama Pancasila. 
Menurut PPKI, rumusan nilai dasar
Negara tersebut diformulasikan 
kembali sebagai lima sila Pancasila
dengan urutan berikut ini. 
1) Ketuhanan Yang Maha Esa; 
2) Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; 
3) Persatuan Indonesia; 

4) Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam 
Permusyawaratan/Perwakilan; dan 
5) Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. 
Pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI
menetapkan Pancasila secara 
resmi sebagai pandangan hidup bangsa
dan pandangan hidup negara. Dengan 
demikian, Pancasila adalah filsafat
negara yang lahir sebagai cita-cita bersama 
ataucollective ideology dari seluruh bangsa Indonesia.
Dikatakan sebagai 
filsafat, karena Pancasila merupakan
hasil perenungan jiwa yang mendalam, 
yang dilakukan oleh para pendiri
negara Indonesia. 
Dalam pengertian inilah, maka
sebelum masyarakat Indonesia menjadi 
bangsa yang menegara, nilai-nilai
luhur Pancasila telah menjadi bagian dari 
kehidupan diri pribadi dan
masyarakatnya. Setelah masyarakat Indonesia 
menjadi bangsa dalam NKRI,
nilai-nilai Pancasila itu dilembagakan sebagai 
pandangan hidup bangsa dan juga
dilembagakan sebagai pandangan hidup 
bangsa. Pandangan hidup bangsa dapat
disebut sebagai ideologi bangsa dan 
pandangan hidup negara dapat disebut
ideologi negara. 
Transformasi pandangan hidup
masyarakat menjadi padangan hidup 
bangsa dan akhirnya menjadi ideologi
negara dimaksudkan untuk 
memungkinkan bangsa Indonesia dalam
mengelola bangsa dan negara 
memiliki satu kesatuan sistem
filsafat yang jelas dan sama. Dengan demikian 
bangsa Indonesia memiliki satu
pedoman dan sumber nilai sebagai hasil karya 
besar bangsa Indonesia di dalam
memecahkan berbagai persoalan politik, 
ekonomi, sosial-budaya, dan
pertahanan keamanan serta hukum dalam gerak 
kemajuan bangsa dan negara
Indonesia, yaitu Pancasila. 
Secara ontologis, epistemologis dan
axiologis sistem filsafat Pancasila 
mengandung ajaran tentang potensi
dan martabat kepribadian manusia (SDM) 
yang dianugerahi martabat mulia
sebagaimana terjabar dalam ajaran HAM 
berdasarkan filsafat Pancasila !
Keunggulan dan kemuliaan ini merupakan 
anugerah dan amanat Tuhan Yang Maha
Esa, Allah Yang Maha Kuasa, Maha 
Rahman dan Maha Rahim sebagai
tersurat di dalam Pembukaan UUD 
Proklamasi 1945 sebagai asas
kerokhanian bangsa dan NKRI. 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar